2. Motivator

0 0 0
                                    

Demi mempertajam kemampuannya untuk menulis artikel hiburan, Fahira menonton dan membaca tentang dunia hiburan di tanah air. Sejauh ini, Fahira merasa tidak tertarik sama sekali, tapi mau bagaimana lagi, ini memang pekerjaannya.

Beratapkan rindang pohon beringin serta semilir sejuk angin Malang, Fahira berusaha mengingat dan mengkaji kalimat-kalimat yang mampu menggugah pembaca untuk singgah ke artikelnya. Selang beberapa saat, tiba-tiba ia terdiam, merenungkan apa yang telah menimpa kehidupannya selama ini.

Sejauh ini, Fahira merasakan beban di pundaknya semakin bertambah. Cita-citanya ingin menjadi wartawan terkenal dengan penuh integritas dan loyalitas terhalang berbagai rintangan. Dia selalu gagal dengan alasan yang sama. Entahlah, mereka yang tidak taat kode etik, atau Fahira yang sulit menyimbangkan dinamika kehidupan dengan idealismenya.

Bukan tanpa alasan ia selalu menjunjung tinggi prinsipnya untuk selalu berpegangan pada kebenaran. Fahira merasa sedih mengingat wartawan yang menyerukan kebenaran malah berakhir tragis. Ia tidak terima manakala wartawan sering dianggap sebagai alat bagi para kaum-kaum pemilik kepentingan. Ia merasa terusik ketika apa yang ditulisnya campur aduk antara subjektivitas dengan objektivitas, antara fakta dan hoax. Fahira tidak ingin seperti itu, dan sampai kapanpun ia berusaha untuk memegang prinsipnya.

Selain alasan diatas, Fahira termotivasi dari beberapa sosok yang membuat jiwanya tergugah. Kalian tahu Najwa Shihab? Ya seorang jurnalis yang acapkali bicara terang-terangan tentang kondisi dan situasi negeri ini. Fahira mengagumi keberanian serta kecerdasannya. Bukan hanya beliau, Fahira turut termotivasi oleh seniornya di kampus dulu yang kini telah menjadi wartawan profesional, bahkan kerap wara-wiri di televisi.

Alunan nada berjudul Aku dan kenangan menginterupsi lamunan Fahira. Nama Satrio dengan emot ayam terpampang pada layar hp-nya.

“Alo Pahira, dimana sampeyan?”

Fahira memutar bola matanya malas, “menurut mu?”

“Di kantor?” Tebak Satrio. “Udah makan siang belum? Kalau belum bareng sama aku, mumpung lagi ada di dekat daerah kantormu.”

Fahira mengecek waktu di jam tangannya, jam dua belas lewat lima belas menit, masih ada waktu empat puluh lima menit untuk makan siang. Tak ada salahnya menerima ajakan Satrio daripada dia terus berdiam diri dibawah pohon beringin sendirian. Takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Yo wis, ayolah Sat,” jawab Fahira setuju. “Dimana?”
Satrio mendesis, nada bicaranya terdengar kesal. “Ojok manggil aku Sat, orang-orang bisa salah paham.” Ujarnya memperingati.

“Kita makan pecel di tempat biasa.”

“Inggih mas Sat, kulo segera meluncur.” Canda Fahira kemudian hendak dibalas dengan sebuah kata yang terdengar kurang baik.

“As-,”

Ucapan Satrio tertahan karena Fahira memutus sambungan telepon secara sepihak.
Di seberang sana, Satrio menggerutu, namun sedetik setelahnya malah senyum-senyum sendiri. “Untung sayang.”

****

Dihadapan Fahira dan Satrio kini sudah tersaji dua porsi pecel beserta dua gelas es jeruk. Satrio sudah bersiap menandaskan pecel tetapi terhenti manakala mendapati Fahira malah termenung menatap kosong pecelnya.

Satrio meletakkan sendoknya, “kok nggak makan? Ini kan pecel kesukaanmu, ada mendolnya lagi.”

Fahira menggeleng, seharusnya seporsi pecel dengan tempe mendol serta perkedel jagung mampu menggugah selera makannya, tetapi kali ini ia tidak tertarik sama sekali.

Satrio yang sudah menghabiskan beberapa suap menatap kesal Fahira yang sedari tadi diam saja. “Ono opo sih (ada apa sih)? Nggak gelem nakam (nggak mau makan)? Aku habisin loh!” Saat Satrio hendak menarik pecel milik Fahira, yang sang pemilik menahannya.

EsparanzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang