Prolog

26 3 4
                                    

Perang Soviet
Afghanistan 1979

Hembusan angin kencang menerbangan ribuan pasir ke udara. Jarak pandang tak bisa lagi ditembus. Debu dan pasir berbaur menjadi satu menambah suasana semakin suram walau sebenarnya hari belum menjelang sore. Suara-suara aneh tak jelas yang ditimbulkan angin puting beliung menambah kengerian. Di atas hamparan gurun pasir itu nampak beberapa tentara yang berlarian tak tentu arah sambil membawa senapan laras panjang. Wajah mereka berkeringat dan nampak kelelahan. Beberapa di antara mereka bahkan mengenakan seragam yang sudah berlumuran dengan darah. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha berlari menembus terpaan angin yang semakin lama semakin kuat.

"CARI TEMPAT BERLINDUNG! CARI TEMPAT BERLINDUNG!" Letnan Swalovski memerintahkan anak buahnya yang tersisa untuk mencari tempat perlindungan. Pria tampan berumur 30 tahun dengan perawakan badan kekar berotot itu berlari sambil memberikan aba-aba dengan kedua tangannya.

Terpontang-panting empat orang anak buahnya mengangguk dan berlari mengekori Letnan Swalovski. Lima orang lainnya sudah mendahului Letnan Swalovski. Dari satu batalyon tentara Soviet yang ditugaskan kini hanya sepuluh orang yang tersisa. Suara-suara tembakan dan ledakan granat tiba-tiba menggema memekakkan telinga. Beberapa warga sipil yang memakai cadar, kain yang dibalutkan sedemikian rupa ke wajah mereka  sebagai pelindung wajah masih memburu dan mengejar tentara-tentara itu. Mereka memberondongi dengan tembakan-tembakan dan lemparan granat berbahaya demi mempertahankan negara mereka.

Seseorang menjerit kesakitan. Ternyata satu orang anggota tentara roboh ditembus sebuah peluru panas. Tubuh pria itu terhuyung lalu terjungkal jatuh dengan bersimbah darah di wajah. Letnan Swalovski berlari mendekati anak buahnya itu dan berusaha untuk memberi pertolongan. Namun tubuh itu sudah tak bergerak dan tak bernyawa lagi. Tinggal sembilan orang yang tersisa termasuk dirinya.

"LARIII ... LARIII!" teriak Letnan Swalovski dengan lantang memberikan titah pada anak buahnya yang masih hidup.

Beberapa meter di depan Letnan Swalovski terdapat sebuah gua. Pria dengan tinggi kurang lebih hampir mencapai dua meter itu langsung memberikan aba-aba agar anak buahnya berlindung ke dalam gua. Mereka berlarian masuk ke dalam gua yang pengap. Letnan Swalovski menajamkan penglihatan dan pendengaran. Anak buahnya berjalan beriringan di depan berusaha mencari celah yang tepat untuk berlindung. Mereka menyalakan beberapa lampu senter yang masih ada.

"Sascha, kamu periksa di sebelah kanan! Dan kamu Adrian periksa di sebelah kiri dan sisanya ikuti saya!" titah Letnan Swalovski pada anak buahnya. Sementara di luar sana suara tembakan dan dentuman bom masih terdengar samar-samar. Terkadang dinding-dinding gua ikut bergetar karenannya.

Letnan Swalovski segera melangkah maju setelah dua anak buahnya yang ia perintahkan menghilang di kegelapan yang menyelimuti gua. Dengan mengayunkan kedua tangan ke depan, lelaki itu memberikan aba-aba agar anak buahnya berjalan lurus ke depan. Mereka berjalan mengendap-endap penuh siaga dengan senapan siap di tangan masing-masing. Mereka terus melangkah dengan hati-hati. Hawa dingin tiba-tiba menyergap. Entah kenapa jalan kecil yang mereka lewati sekarang berubah menjadi begitu menyeramkan. Aroma tak sedap seperti anyir darah membungkus jalan sempit itu. Bulu kuduk setiap orang yang ada di sana langsung berdiri. Beberapa di antara mereka mengucurkan keringat dingin dan menahan napas beberapa saat. Insting tentara mereka mengatakan bakal akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Benar saja, tak sampai beberapa langkah mereka berjalan mereka mendengar sesuatu yang asing. Mereka mendengar kecapan-kecapan orang yang sedang bersantap. Suara-suara itu makin terdengar jelas dan semakin dekat. Tujuh orang tentara itu dengan sangat hati-hati menyorotkan lampu senter ke asal suara. Tiba-tiba sesuatu menggelinding ke arah mereka. Betapa terkejutnya para tentara itu saat melihat sebuah bola mata berlumur darah yang berhenti menggelinding di depan mereka. Mereka mundur beberapa langkah lalu menyorotkan lampu senter mereka ke arah depan dan mereka semakin kaget saat melihat sosok-sosok makhluk bersayap menyeramkan. Makhluk-makhluk aneh dengan kulit berwarna putih pucat dipenuhi otot dan urat saraf yang menonjol keluar, bola mata hitam bolong, telinga panjang runcing, kepala yang nyaris botak dengan beberapa helai rambut, mulut yang sedikit moncong dengan gigi-gigi yang runcing dan lidah yang menjulur-julur bagai seekor komodo serta tangan dengan kuku-kuku yang panjang, hitam dan runcing. Sekilas mereka nampak seperti kelelawar berbadan manusia. Makhluk-makhluk ini sedang menyantap tubuh-tubuh tak bernyawa yang bergelimpangan di tanah. Ada yang menguliti mayat-mayat itu, ada yang dengan buas merobek dan melahap isi perut mayat, ada yang mencabut kepala mayat lalu memecahkannya dan memakan otak di dalamnya, ada yang hanya berjalan-jalan kebingungan sambil mengerang kelaparan. Dari mulut mereka menebarkan aroma busuk danur. Tak ayal para tentara segera menutupi hidung mereka karena tak sanggup menahan bau busuk yang datang menyerbu.

Das HausWhere stories live. Discover now