Part 3

20 4 1
                                    

🌻🌻🌻

Hai...hai...hayyyy
Terimakasih sudah membaca.
Jadi ini cerita pertamaku.
Maaf jika banyak typo, pemilihan kata dan alur yang masih berantahkan yak.
♡Vote and comment♡
_________________

Meski masa kecil ku habiskan di desa, aku jelas tidak seperti kebanyakan pemeran ftv, memiliki logat dan bahasa daerah kental yang mereka perankan ketika berada di kota.

"Grace, kenapa diam aja waktu kita ga banyak, ayo buruan" teriak Dwi memintaku meninggalkan ruang utama.

"Kau deluan aja, nanti aku nyusul"  masih malas-malasan meninggalkan tempat duduk ku.

"Buruaannnn Grace"

"Iyaa"

Satu-satunya hal yang ada di fikiranku saat ini adalah pulang ke rumah, pulang dan beristirahat namun apalah daya murid baru ini.
Aku menengok ke arah pintu ruang utama, tidak ada siapapun disana, lubang diantara dua sekat itu sudah longgar dari desakan murid yang berlari tadi, aku lalu bangkit dari duduk ku dan pergi menyusul Dwi.

"Apa kau sudah dapat tanda tangan senior yang gemuk itu ?" Tanyaku pada Dwi seraya menunjuk ke arah sosok yang kumaksud.

"Iya, aku udah dapat Grace" balas Dwi menunjukkan kertasnya.

"Namanya siapa ?"

"Rahmat Hidayat, baris ke sembilan" Dwi menunjuk lembaran pada genggaman ku dan aku menggumam.

Beberapa murid juga nampak disana, mereka sedang bernyanyi dan berjoget untuk mendapatkan tanda tangan, bahkan ada satu diantara mereka terlihat sangat senang mendapatkan tanda tangan dari senior yang ada hadapannya itu. Seperti mendapatkan hadiah saja, padahal yang ia dapat hanya coretan tak beraturan. Ada-ada saja.

Semakin langkah ku mendekati sudut tangga gedung B, rasanya semakin panas juga cuaca ini, membuat siapapun yang ada disini akan merasa gerah.

"Kak Rahmat ya, minta tanda tangannya, boleh ?" Dengan nada pemalu sembari menyodorkan lembaran milikku.

"Oh boleh dong tapi ada syaratnya" sorot mata Rahmat mengisaratkan kejahilan.

"Apa kak ?"

"Kalau mau tanda tanganku ya... kau harus peragakan cara menembak seseorang." Lanjutnya mengangkat salah satu sudut bibirnya di akhiri tawa kecil.

"Tinggal ngomong suka aja, udahkan kak ?

"Engga, kau harus mengutarakannnya di hadapan cowok"

"Ga ada cowok disini"

"Ada aku"  dengan PD-nya Rahmat memasukkan tangannya ke dalam saku celana abu-abunya.

Wahh syarat yang Rahmat beri adalah kalimat paling menggelikan yang pernah aku dengar, seketika cuaca bertambah panas dua kali lipat dari sebelumnya.

"Tapi kak..."

"Tapi apa ? Ga mau ?"

"Syarat yang lain ada ?" Tanyaku balik.

"Jangan banyak nawar, lakukan aja, mau tanda tangan ga. Kalau ga mau ya udah". Rahmat menggerakkan sebelah kakinya ke atas tangga bersiap untuk pergi.

"Tu.. tunggu kak"

Ini tidaklah sungguhan dan untuk mempersingkat waktu. Meyakinkan diriku sendiri, walau aku sangat berat melakukannya.

"Kak Rahmat jadi paacaar aku ya" ucapku pelan, kalimat itu terlontar juga dari mulutku.

"Kau minta aku jadi pacarmu ? Apa ga salah ?" Balas Rahmat seakan lupa dengan syarat yang baru saja ia berikan.

"Lah kok, Kak Rahmat" nada suaraku masih pelan namun emosiku mulai tak terkendali.

"Heemm bercanda kok, serius amat sih, sini lembaran mu, aku tanda tangani"

"Jadi pacar beneran Grace, aku juga mau kok" celetuk Rahmat mengembalikan lembaran itu dan menjauh dari bawah tangga.

Beberapa langkah di belakang ku berdiri sesosok lelaki. Ternyata senior bertopi merah juga ada di sana dan menyaksikan semua yang terjadi, wajahnya datar namun belagaknya seolah meledekku, aku benar-benar malu.

"Itu keringat apa kesiram tukang kebun, basahnya manja banget Grace" nyinyir Dwi, aku menghela nafas berat. Keringat di jidatku masih terpampang nyata.

"Kata Pak Bahrul di ruang utama tadi bersenang-senanglah, senang apa coba gayanya kayak begini, ini namanya di permainkan. Dasar senior menyebalkan" tuturku kesal.

"Biasa kok terjadi, di bawa enjoy aja sih Grace. Lagian ga beneran juga yang penting udah dapat tanda tangannya" balas Dwi santai. Aku memutar bola mataku dan kembali menghela nafas berat.

Kesan yang konyol, pasti kejadian tadi bakal jadi bahan buly-an Rahmat dan senior bertopi merah. Kenapa juga dia ada disana, untung-untung kalau mereka ga ngasih tau ke temannya yang lain.

Terlanjur sudah Grace, kali ini hanya perlu sedikit menebalkan muka dan buat seolah ga terjadi apa-apa.

Aku mengajak Dwi menghampiri senior bermata sayu itu untuk meminta tanda tangan, namun yang ia lakukan hanya menatapku dengan raut wajah meledek. Dwi memulai percakapan, memecah keheningan beberapa detik lalu, berusaha akrab. Sayangnya selain tampan pembawaan senior bertopi merah itu sangat dingin pada Dwi. Beberapa guru yang berbincang di depan ruang Osis hanya menatap, seolah ingin menyampaikan pada Dwi percuma ngomong panjang lebar sama senior itu ga bakalan di gubris juga.

Namun Dwi ga nyerah gitu aja, Dwi masih menyerang dengan pertanyaan bertubi-tubi tapi tak ada satupun yang di jawab senior ini. Sedangkan aku hanya berdiam diri di samping Dwi.

"Bro di panggil guru BK tuh, jangan lupa bawa absen dan data diri murid baru, arsipnya sama Bu Fitri" kata salah satu temannya. Dia hanya mengangkat jempol mengartikan oke.

Senior yang dari tiga hari lalu belum ku tau juga siapa namanya, kini melangkah menjauh dari posisi ia berdiri, tanpa kata dan tak mempedulikan keberadaan aku dan Dwi disana.

"Wah.. wah.. wah.. apa-apan senior itu, Grace barusan dia mencappakkan kita ?" celoteh Dwi tak terima.

"Ya udah sih, kosongin aja tanda tangannya"

"Untung aja ganteng kalau engga udah aku geprek juga tuh senior" gerutu Dwi semakin menjadi-jadi.

"Tapi tunggu dulu deh Grace, nama dia siapa ya ? Kok ga ada tanda pengenal seperti yang lainnya, sok misterius banget ga sih"

"Ga tau juga" balasku.

"Jangan-jangan dia bukan manusia, toh dia ga punya nama pengenal, beda dengan yang lain, dia juga jarang bicara"

"Kalau bukan manusia, trus apaan ? Jangkrik ?" Dwi menatapku.

Langkah senior itu semakin jauh dan menghilang di ujung jalan.

"Jangan kemana-mana" ucapnya, tiba- tiba menampakkan kepala di balik pintu, tersenyum hingga mata sayunya menyipit.

Maksudnya jelas meminta aku dan Dwi menunggunya kembali dari ruang BK.

"Oksigen, oksigen... Grace tolong pegang aku, kayaknya ga lama lagi aku pingsan deh" kedua tangan Dwi menyatu di dadanya.

"Jangan lebay deh Wi"

"Kau lihat yang dilakukan senior itu barusan ? Apa dia sedang menggodaku Grace ?"

"Apa dia sedang menebar pesonanya ?"

"Ga tau ahh" ketus ku tak ingin berfikir.

Aku berusaha menahan senyum, bagaimana dia melakukan semua itu, bisa-bisanya di awal dia cuek bebek lalu detik berikutnya dia bersikap begitu menggemaskan.

"Ya Allah"

"Lucu banget sih"

"Sumpah"

"Dwi sadar, di liatin guru ihhh, ga malu apa" decakku menutup mulut Dwi dengan lembaran yang aku genggam.

.
.
.
.

Next part.......

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 15, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TAKDIRWhere stories live. Discover now