Part 2

72 15 3
                                    

Aku duduk di sudut kiri paling belakang, tepatnya dekat jendela ruang utama. Dari sana aku bisa melihat jelas langit biru dan beberapa bagian sekolah yang lumayan indah untuk di pandang.

"Panggil saja Puspita, Pita, Pus ehh Dhea saja. Lengkapnya Ardhea Puspita. Bangku di seblah mu kosong, selama kegiatan berlangsung bangku itu milik ku" decaknya tegas, membuyarkan pandanganku dan kembali mengatur nafas yang belum normal setelah berlari dari lapangan,  melewati berapa puluh anak tangga.

"Aku tidak di persilahkan duduk gitu" lanjut Dhea mengangkat kedua alis tipisnya. Aku melongo menatapnya.

Dhea lalu menarik bangku dan duduk tanpa persetujuanku. Wajahnya tenang tak menunjukkan rasa gugup sama sekali.

"Aku bolehkan duduk di seblah mu, boleh dong, terima kasih" tanya dan jawabnya sendiri.

Aku hanya manggut-manggut dengan ekspresi wajah kebingungan dan seolah berkata selain arogan ternyata orang kota juga sok akrab ya.

Atau mungkin yang mereka lakukan adalah hal-hal wajar, aku-nya saja yang terlalu mengintimidasi keadaan karena pembawaanku yang sulit bergaul.

Sudah setengah jam berlalu tapi kegiatan belum juga di mulai.

Kenapa dia berbohong pada temannya, sosok penyelamatku pagi tadi.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri mengusap kening sesekali.
Mungkin dia hanya merasa iba melihat ku akan di hukum seorang diri. Berusaha menjernihkan fikiranku.

Suara bolpoin Dhea yang jatuh ke lantai, membuatku kembali fokus pada kegiatan yang baru saja di mulai.

Pembukaan MPLS berjalan baik dan lancar, dilanjutkan perkenalan serta pemberian materi dari beberapa guru hingga jam istirahat dan sholat duhur.

Setelah berwuduh sesegera mungkin aku masuk ke mushollah menuju etalase penyimpanan mukenah namun yang nampak di sana tinggal gantungan baju berderet rapi.

Ya Allah, aku rasa kali ini aku tidak akan lolos dari hukuman, bisa-bisanya aku lupa padahal sudah di ingatkan untuk membawa mukenah.

"Pakai ini aja, Alma lagi halangan jadi ga bisa ikut sholat, nama ku Dwi. Buruan gih pake mukenahnya entar kita telat" tiba-tiba menyodorkan mukenah padaku. Aku menatapnya sendu.

Imam yang memimpin sholat Ma Syaa Allah suaranya sangat merdu, surah-surah begitu indah ia lantunkan membuat hati semakin sejuk.

Alhamdulillah Ya Rabb maha kuasa atas segalanya, syukurku pada pertolonganmu yang datang tak ku duga-duga hingga aku bisa menyelesaikan sholat berjamaah tepat waktu.

"Kalau dalam hitungan kelima kalian belum kelar juga pakai sepatu, artinya kalian minta di hukum" teriak salah satu senior saat murid baru saja keluar dari pintu mushollah, tergesa-gesa bahkan ada yang belum sempat mengikat sebelah tali sepatunya.

"Sekarang kalian jalan berjongkok melewati tangga sampai tiba di ruang utama" pinta senior itu. Semua murid bersorak tak terima.

"Kalau kalian tidak setuju ya boleh aja tapi gantinya kalian harus jalan berjongkok keliling lapangan sampai kegiatan di ruang utama hari ini selesai. Jadi kalian lebih milih yang mana ?" Aku rasa senior itu sudah tidak waras.

Saat tiba di ruang utama Dwi duduk di depan mejaku, Dwi meringis kesakitan akibat rasa nyeri pada betisnya sedangkan di sampingnya tampak seorang gadis dengan potongan rambut sepunggung sibuk merapikan tasnya.

"Dwi mukenahnya...."

"Ini mukenah ku" Alma mengambilnya dari tanganku.

"Makasih udah dipinjamin"

"Ga masalah kok"

"Oh iya murid yang duduk di situ kemana ?" Aku menunjuk bangku tempat Alma duduk.

"Aku suruh pindah ke tempatku, karena kita akan menjadi teman dekat jadinya kita juga harus duduk berdekatan" jelas Alma begitu akrab.

Aku tersenyum paksa, masih heran dengan tingkah Alma, aku lalu duduk meluruskan kaki berharap rasa nyeri di sana bisa hilang.

Tadi Dhea sekarang Dwi dan Alma.

Mereka adalah tiga orang pertama yang secepat itu menjadi temanku, sudahlah mungkin alurnya memang seperti ini.

Serba serbi MPLS dengan segala drama di dalamnya begitulah aku menyebutnya.

                                       *******

'TIGA HARI KEMUDIAN'

"Guayss hari ini bakal seru banget deh, jadi gak sabar nih" jiwa genit Alma mulai meronta-ronta.

"Tuh mulai kumat kan ini anak" balas Dwi cepat.

"Kayak kamu ga nunggu-nunggu hari ini aja" kali ini Alma memegang kedua pipi, tersenyum lebar dan menyipitkan matanya.

"Emang hari ini ada apa ? Kok pada hebo" tanyaku cuek dan kembali merapikan bolpoin.

"Jadi gini Grace, hari terakhir kegiatan MPLS, kita para murid baru ini harus dapatkan semua tanda tangan panitia tanpa terkecuali, agenda ini wajib ga boleh kelewat. Apalagi kelewat kakak-kakak ganteng itu" jelas Alma menatapku bersemangat. Aku menggumam.

Sudah ku putuskan, sampai aku mengetahui namanya kusebut dia pemilik mata sayu 'Senior bertopi merah' toh benda bulat itu juga yang menjadi pembedanya.

Tiba-tiba suasana di ruang utama menjadi anarkis.

Teriak dan bentakan menciptakan kebisingin yang amat mengganggu, semua murid cowok di perintahkan maju ke depan sementara cewek menunduk pada permukaan meja, tak ada yang boleh mengangkat kepalanya sampai permainan selesai.

Perasaan panik tak karuan, menerka-nerka apa yang akan terjadi.

Kini suara bising itu hilang berubah menjadi tawa geli.

Drama apalagi ini, adegan penyelamatan dramatis atau lawakan pemuda yang berusaha melucu. Aku menyatukan segala perkiraan.

Jiwa ku ingin patuh namun rasa penasaranku lebih berkuasa.

Aku mengangkat kepala dan kembali menenggelamkannya sebelum ketahuan aku melanggar aturan, aku mendengus, apa-apaan ini permainan konyol, kedua mataku telah ternodai, melihat murid cowok berbaring telentang meletakkan kepala mereka tepat di bawah perut satu sama lain seperti rantai yang saling mengait, ketika aba-aba di mulai mereka akan menggeleng-gelengkan kepala.

Tawa geli murid cowok semakin menjadi-jadi saat ketua panitia mengatakan ini adalah permainan kepala berjumpa kepala.

Setelah beberapa menit permainan selesai. Semua kembali pada posisi dan keadaan sebelumnya.

"Kita pulang agak telat. Hari ini berusaha, berkenalan, dan bersenang-senanglah kalian" pak Bahrul terlihat lega sesaat setelah membagikan lembaran yang berisi nama panitia.

Raut wajahnya mengisyaratkan kebebesan.
Mungkin tanggung jawab atas kegiataan ini yang selangkah lagi terselesaikan.

Ruang utama kembali gemuruh.

Botol air minumku mulai mendekat namun belum sempat menyentuh lantai. Kepalan tangan yang tidak terlalu besar menangkap dan kembali meletakkannya di atas mejaku.

Perhitungan yang akurat dan timingnya sangat tepat.

"Air minum juga di beli pakai uang, kalau cuma beli untuk di buang, mending isi botol mu dengan air keran di kamar mandi" jelasnya tak menatapku.

"Bukan gitu, tadi ga sengaja ke...seng..gol" tak mempedulikan kataku dan pergi begitu saja.

Lagi-lagi dia,

penyelamat,

senior bertopi merah.

TAKDIRWhere stories live. Discover now