Tolong Aku!

1.3K 213 41
                                    

Noura Al-Hameed.

Gadis Palestina berparas bidadari sedang membagi dua rotinya untuk diberikan pada Aisha, anak perempuan berkebangsaan sama, berusia enam tahun. Kemudian mereka menyantap roti itu dengan kuah krim yang lebih mirip air keruh encer tanpa rasa.

Begitulah camp pengungsian setiap harinya. Makanan tidak pernah layak disebut sebagai makanan. Bahkan baru saja Noura menemukan ada bintik hitam berbulu di atas rotinya. Noura tahu itu jamur, tapi tidak menghiraukan. Jemari lentiknya mencuil bagian berjamur itu lalu membuangnya ke tanah. Perutnya lebih penting untuk diisi ketimbang mengurusi standar kelayakan gizi.

Noura melirik Aisha yang lebih dulu selesai menghabiskan roti berjamur itu sebelum dirinya. Astaga. Anak itu pasti sangat kelaparan, pikirnya dalam hati.

Wajar saja jika malam ini semua orang menghabiskan makanan lebih cepat dari biasanya. Di luar sedang turun salju. Camp ini hanya dilapisi terpal, setebal apapun bahannya tetap tidak sesempurna batu bata atau beton dalam menahan dinginnya udara salju. Sayangnya, bahan terpal ini pun tidak terlalu tebal. Ditambah, camp ini beralaskan tanah. Tidak ada lantai kayu yang mampu menyerap dingin, atau batu paving yang mampu memberikan kehangatan. Selimut yang disediakan juga sangat terbatas. Sepuluh lembar untuk dua puluh orang. Itu artinya, satu selimut untuk dua orang. Dan lagi-lagi, Noura harus berbagi dengan Aisha. Beruntung Aisha anak kecil. Tubuhnya tidak sebesar dirinya atau orang dewasa lain di dalam camp ini.

Noura meletakkan piring kosongnya di dekat terpal. Ia belum mau repot-repot mencucinya. Gila saja. Di luar sedang sangat dingin. Minus lima derajat ditambah sedang turun salju. Setelan gamisnya yang dirangkap sweater wol tetap tidak akan sanggup menghalau hawa dingin yang terasa menggigit ini.

Setelah merapatkan diri pada Aisha, gadis cantik itu mengedarkan pandangan ke seluruh isi camp. Lebar dan panjang terpal kemah ini persis sama seperti camp-camp penjagaan tentara di medan perang. Cukup sempit untuk dihuni dua puluh orang. Tapi justru kondisi ini menguntungkan. Sebab dengan sempitnya jarak, mereka bisa saling menghangatkan satu sama lain.

Merasa lebih hangat dari sebelumnya, Noura kembali teringat pada peristiwa pertama kali mereka sampai di camp pengungsian ini.

Saat itu musim salju, hampir sama seperti ini. Tapi keadaannya jauh lebih layak dibandingkan sekarang. Dia masih bisa memakai kaus lengan panjang yang dirangkap jaket wool super hangat di atas rok setumit berbahan tebal. Kakinya juga dibalut sepatu boot dari kulit sapi dan dilapisi wool.

Semua kenyamanan yang ia rasakan sejak tiba di Athena-Yunani dimusnahkan oleh kabar kecelakaan yang menewaskan Paman dan Bibinya. Ia tidak tahu bagaimana orangtua asuhnya itu bisa mengalami kecelakaan mendadak. Padahal lima menit sebelumnya Bibinya masih berbicara lewat telepon, mengabarkan bahwa mereka akan sampai rumah tidak lama lagi.

Na'as, jenazah mereka yang tiba tidak lama kemudian. Aisha, putri satu-satunya, menjerit histeris menerima kedatangan jenazah kedua orangtuanya. Setelah pemakaman diadakan, dan para pelayat tidak peduli dengan nasib kedua gadis itu, petugas sosial datang untuk memasukkan mereka ke dalam camp pengungsian ini.

Jika saja kebangsaan mereka berdua bukan Palestina, bisa dipastikan mereka akan dikirim ke panti sosial, tempat anak-anak yatim piatu tinggal. Setidaknya, di panti lebih nyaman, lebih hangat dan lebih layak dihuni manusia daripada camp pengungsian ini.

Noura tidak heran mengapa mereka diperlakukan berbeda dari anak-anak Kaukasia atau ras lain. Karena mereka orang Palestina. Pemerintah Yunani sangat membenci pengungsi dari negara-negara Islam, terutama Palestina. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika Yunani sama seperti Perancis, pengidap Islamophobia akut.

I Sense YouWhere stories live. Discover now