~ Twelfth ~

11K 2K 431
                                    

*DRI*

Tahun baru, tidak ada kejadian istimewa apa pun. Aku tidak bisa melewatinya bersama Alistair karena Papa tiba-tiba mengajakku, Kila, dan Mama menghabiskan malam pergantian tahun di Puncak. Alistair akhirnya memilih ikut acara tahun baru dengan teman kampusnya, bersama Zac juga.

Setelah tahun baru, waktu makin terasa berlari. Aku disibukkan dengan UAS, begitu juga Alistair. Dia malah lebih sibuk lagi karena sudah akan mulai mengajukan topik untuk Tugas Akhir. Targetnya, semester awal tahun depan harus sudah lulus.

Jadilah kami hanya bisa mencuri waktu makan siang bersama di kampus, sebelum dia sibuk dengan aktivitasnya, dan berkomunikasi via chat atau telepon saat malam.

Baru saat UAS selesai, aku bisa kembali bersantai.

Yah, awalnya menyenangkan. Minggu pertama, aku masih menikmati santai di rumah. Memasuki minggu kedua, aku mulai bosan. Al sedang tidak bisa diganggu karena dia menggunakan waktu liburannya untuk ikut papanya di kantor. Satu-satunya sasaranku hanyalah Zac.

Aku kadang bersyukur dia jomlo.

“Jaki, ajarin gue mobil dong,” pintaku, saat kami sedang berada di salah satu gerai KFC untuk makan siang karena aku bosan makan di rumah.

“Tumben.” Zac menyerahkan bagian kulit ayamnya padaku.

Ya, dia memang salah satu manusia kurang bersyukur karena bisa-bisanya menolak kenikmatan kulit ayam KFC.

“Pengin cari kegiatan, tapi gue males ikut-ikut kursus nyetir gitu,” jelasku. “Lagian, lo juga seneng, kan, kalau gue bisa nyetir, nggak minta lo anterin ke mana-mana lagi.”

Zac menggigit potongan besar ayamnya. “Bener juga lo,” gumamnya setelah menelan ayam di mulutnya. “Okelah, gue juga nganggur. Pake mobil siapa? Tante Dee?”

“Mobil lo aja kenapa?”

BIG NO!” tolak Zac tanpa basa-basi. “Lo jadi pembalap internasional aja nggak bakal gue kasih bawa Sindi, apalagi buat lo belajar. Kekerasan terhadap sayang gue itu namanya.”

“Lebay lo.”

“Gue mau ngajarin, tapi nggak mau numbalin mobil gue.”

Aku berdecak. “Ya udah, ntar pinjem mobil Mama,” ujarku. “Kenapa sih cowok sama mobil tuh suka overprotektif?”

“Sama kayak cewek yang langsung ngamuk kalau lipstik barunya dipegang.”

Aku tidak membantah.

Sesaat, kami makan tanpa suara. Zac sudah menghabiskan paketnya, dan memesan lagi dua ayam tanpa nasi. Aku sudah tidak heran dengan nafsu makannya kadang-kadang.

“Jak, lo tahu nggak...”

“Enggak.”

Aku melempar tisu ke arahnya. “Dengerin dulu!”

Zac terkekeh. “Kenapa?”

“Semalem kan gue teleponan sama Al. Awalnya ngobrol biasa aja gitu, dia cerita di kantor papanya ngapain aja, nggak sabar mau mulai ikut kerja beneran, gitu-gitulah.”Aku mulai cerita. “Terus, obrolannya lama-lama mulai serius tuh. Dia bilang, nanti habis lulus dia bakal ke Singapura, gabung perusahaan papanya di sana.”

Zac menatapku dengan ekspresi kaget. Berarti Alistair memang tidak memberitahu siapa pun tentang itu, selain aku.

“Lah terus? Lo gimana?” tanya Zac.

“Dia minta gue nyusul nanti pas gue juga udah lulus.”

“Anjir, lo berdua udah seserius apa sih?” Zac tampak heran.

Out of Your Bubble [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang