~ Fourth ~

11.7K 2.2K 776
                                    

*DRI*

Suara dehaman cukup keras membuatku mengangkat kepala dari ponsel. Pandanganku langsung beradu dengan tatapan Papa, yang sedang memandangku dengan alis bertaut.

“Makan yang bener, Kak. Simpen dulu hapenya.”

Aku menurut, meletakkan ponselku di meja dan melanjutkan makan.

“Cie... senyum-senyum terus dari tadi.” Kila, adik perempuanku, terlihat sangat senang karena mendapat peluang untuk menggodaku. “Chat sama siapa sih?”

Aku mengabaikannya, masih asyik dengan makananku.

“Lo punya pacar ya, Kak?”

Papa seketika terbatuk, sementara aku memelototi Kila.

“Sembarangan lo,” dumelku. “Cuma temen.”

“Temen mana sih yang chatting sambil senyum-senyum?” Kila masih melanjutkan ledekannya.

Aku jelas tidak akan membiarkannya menang. “Kayak lo sama Mas Ares gitu. Temen tapi teleponan sampe subuh.”

Gantian Kila yang gelagapan.

“Ngomongin apa sih?” ledekku. “Masa depan?”

“EHEM!” Papa kembali berdeham, kali ini lebih keras.

“Udah, udah,” Mama, seperti biasa, selalu menjadi penengah. “Jantungan nanti papa kalian.”

Aku diam sambil menahan tawa, memilih melanjutkan makan.

“Lagian, ya, Ma. Papa tuh aneh deh,” Kila kembali bersuara setelah diam beberapa saat. “Masa mau punya pacar aja dikasih batasan umur? Udah kayak mau daftar CPNS.”

“Kamu SMA aja belum lulus, mau ngapain pacaran?” dumel Papa. “Cowok-cowok seumuran kamu tuh mana ada yang beres. Mending sekolah yang bener, terus kuliah, kerja...”

“Terus nikah,” lanjutku.

“Ambil S2,” ralat Papa.

“Dih, Papa doain anaknya jadi perawan tua,” balas Kila. “Jahat banget.”

Mama tertawa, sementara Papa memberengut.

Aku ikut tertawa. Waktu sarapan adalah favoritku. Terlepas dari adu mulut yang rutin terjadi antara aku dan Kila, kadang juga berdebat dengan Papa, semua itu membuat suasana rumah selalu menyenangkan. Sarapan adalah saat di mana kami semua bisa berkumpul di meja makan, seperti sekarang.

Suara mesin motor terdengar berhenti di depan rumah, disusul bunyi bel rumah tak lama kemudian, membuat Kila cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Mama berdiri untuk membukakan pintu.

“Bilangin Ares tuh kalau motoran nggak usah ngebut,” Papa mengucapkan salah satu nasehat rutinnya setiap pagi.

Kila berdeham mengiyakan, lalu menyalami tangan Papa sebelum berlari kecil meninggalkan ruang makan.
                                                                               
Aku juga sudah menyelesaikan sarapanku. “Kakak juga berangkat, Pa,” ucapku, menyalami tangan Papa, lalu beranjak dari sana.

“Bareng nggak, Kak? Bonceng tiga.” Kila menyeringai saat aku tiba di teras, sementara dia baru selesai mengikat tali sepatu.

“Geblek,” balasku, lalu menyalami Mama yang juga masih berada di sana. “Kakak berangkat, Ma.”

“Hati-hati,” ucap Mama.

Aku melambaikan tangan pada Ares yang dibalasnya dengan senyum kecil.  Sebenarnya Ares satu angkatan di bawah Zac. Tapi, karena dia masuk kelas aksel di SMP dan SMA, dan hanya menghabiskan tiga tahun setengah di bangku kuliah, dia jadi menyusul dan lebih dulu wisuda awal tahun ini. Beberapa bulan ini mulai bekerja di salah satu bank swasta, tapi aku tidak begitu tahu di bagian apa.

Out of Your Bubble [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang