17 || Hesperos & Eosphorus - The Dawn-Bringer & Light-Bringer

Start from the beginning
                                    

Alasan utama mengapa Eros mengingat lagi kejadian itu karena kasusnya mirip dengan kasus Ursa. Bedanya helm yang Ursa gunakan tidak terlempar, sementara pasiennya saat itu helmnya terlepas hingga kepala bagian belakangnya langsung membentur aspal, mengalami koma selama semalaman hingga akhirnya meninggal.

Eros masih ingat rasa gamang dari kematian pasien pertamanya. Ia masih bisa merasakan sakit ditusuk di dada tiap mengingat mata itu.

"Beruntung pasien kita jarang yang parah ya, Dok, kebanyakan rujukan."

Eros hanya mengangguk. Farris belum tahu beratnya menjatuhkan vonis tak bisa lagi berjalan pada seorang anak muda yang produktif, melihat dunia anak itu hancur, melihat orangtua pasiennya lemas. Farris belum tahu juga beratnya mengatakan orangtua harus menggunakan kursi roda, melihat beban di mata anak-anak, melihat ketidakinginan menyusahkan anak-anak di mata si orangtua.

Menurut Eros ini jauh lebih berat.

"Dok, saya mau tanya yang lebih pribadi boleh nggak?" Eros hanya mengangguk sebagai jawaban. "Dokter tahu kalau Livia suka sama Dokter, kan?"

Lagi, Eros hanya mengangguk.

"Kok Dokter nggak nolak sih dideketin Olivia?"

Kali ini Eros menyengir sambil menahan tawanya. "Emang Olivia pernah nyatain cintanya sama saya? Nggak, kan? Ya biarin aja kalau dia suka saya, itu urusan Olivia. Menyukai seseorang itu hak mereka, dibalas atau tidaknya adalah resiko menyukai seseorang."

"Dia marah banget kalo dipanggil Olivia, lho."

Eros tergelak pelan sambil menggeleng. Jangankan Olivia, dengan Ursa yang memang ia sukai pun butuh waktu selama enam tahun untuknya memanggil dari Ursa ke Ucha. "Kenapa kamu tiba-tiba ngomongin Olivia, suka?"

"Dih, enggak ya!"

Protesan Farris tak lagi terdengar ketika ponselnya berbunyi.

'Majikan'

"Ya, Cha? Udah sampai?"

••

Setelah menghubungi Eros, mengatakan bahwa ia sudah ada di parkiran, Ursa menyusuri lorong lobi utama menuju ruang tunggu tepat di depan loket pendaftaran yang tidak terlalu ramai. Ursa memilih kursi yang paling dekat dengan jalan utama, agar bisa langsung pergi ke ruangan suaminya saat suaminya datang.

Tangannya membelai lagi kemeja suaminya yang masih beraroma pelembut, dari banyaknya baju yang ia miliki, entah mengapa koleksi baju suaminya lebih menarik untuk dipakai ketimbang miliknya sendiri.

Seperti siang ini, Ursa memilih celana jins hitam dengan atasan camisole rose gold yang dilapisi kemeja cokelat susu bergaris putih vertical yang dua kancing teratasnya sengaja dibuka dan bagian depan kemeja dimasukkan.

Ia mengintip lagi lorong, Eros sudah memberi peringatan kalau lama berarti ia tertahan wali pasien. Jadi, Ursa harus sabar menunggu. Sesekali ia mengintip tas bekalnya berisi dua kotak makan kayu. Produk barunya sudah mulai diproduksi massal dan ia hanya tinggal menunggu, itu kenapa ia memiliki waktu untuk membuat makan siang dan rela mengantarkannya ke rumah sakit pukul tiga sore.

"Uchay!" seru seorang pria dari arah lorong ruang rawat inap.

Hanya ada sekelompok orang yang memanggilnya Ucay, teman-teman SMP yang ikut pelatihan atlet. Lalu, siapa pria tinggi besar dengan potongan rambut 1-2-1 dan kaos tim basket Lakers.

"Wah, lo nggak inget gue? Parah banget, Bimo temennya Oyi, kelas IX-I, Chay!"

Ah, Ursa ingat sekarang. Bimo Nugraha, anak pengusaha ekspedisi terbesar di Indonesia yang hobi makan gado-gado dan menjadi satu-satunya orang yang menengok Ursa di rumah sakit sebanyak empat kali, tiga kali saat Ursa masih koma dan satu kali ketika Ursa sudah sadar namun belum bisa bicara banyak.

CANIS [END] √Where stories live. Discover now