27. More Than Broken Heart

Start from the beginning
                                    

Dapat Rose dengar Maxi memanggil-manggil namanya dari belakang. Pria itu mengejarnya, masih dengan tubuh polos tanpa baju di hawa dingin seperti ini. Namun Rose tak menanggapi. Ia menghentikan sebuah taxi, sekarang air matanya menetes begitu saja. Rasa dikhiati ternyata sesakit ini. Ia bingung mau kemana sekarang, ia ingin menenangkan hatinya. Namun ia juga butuh teman untuk mengeluh, dan satu nama terlintas pikirannya.

"Jeffrey!" guman Rose.

"Salju pertama turun," kata supir taxi pada Rose.

Rose memandang keluar, benar... salju pertama turun. Harusnya Rose senang, ini pertama kalinya ia dapat melihat salju secara langsung. Tapi karena suasana hatinya yang sedang tidak baik. Rose hanya dapat membalas perkataan pak supir dengan senyuman tipis.

♥♥♥

Jeffrey menjulurkan tangannya ke depan, membiarkan salju yang dingin menyapa telapak tangannya. Seulas senyum terpatri di bibirnya. "Salju pertama, gue bakalan seneng kalau bisa ngerasain salju pertama ini sama lo, bayi."

Salju turun semakin lebat, hingga membuat jalan mulai tertutup tebalnya lapisan salju. Udara juga semakin dingin, Jeffrey bahkan lupa tak memakai sarung tangan hingga telapak tangannya perlahan mulai kedinginan dan terasa beku.

Setelah puas berjalan-jalan di pusat kota sendirian, Jeffrey memutuskan untuk pulang. Ia harus bersiap-siap mempacking pakaian dan beberapa oleh-oleh ke dalam koper, karena besok pagi ia akan pulang ke Surabaya.

Jeffrey mengambil sepedanya yang ia titipkan di parkiran khusus sepeda. Menggoes pedal meskipun malas, bersepeda di cuaca bersalju seperti ini sebenarnya cukup berbahaya.

Sesampainya di flat, hal pertama yang ia lihat adalah seorang gadis berambut pirang sedang berjongkok sambil menyembunyikan wajah di depan unit flatnya. Jeffrey semakin mendekat dengan tatapan penasaran.

"Kayak si bayi marshmallow." guman Jeffrey.

Kini ia berdiri di hadapan gadis itu. "Rose," panggil Jeffrey.

Gadis pirang itu memperlihatkan wajahnya, memandang Jeffrey dengan tatapan sendu. Dapat Jeffrey lihat wajah cantik itu basah, penuh dengan bekas air mata.

"Lo kenapa?"

Rose tak menjawab, melainkan langsung berdiri dan menghambur dalam pelukan Jeffrey seraya menangis.

"Jeffrey, hiks!"

Jeffrey membalas pelukan Rose, ia bingung ada apa dengan gadis ini?

"Cerita ke gue, lo kenapa? Kenapa bisa nangis gini? Siapa yang bikin lo nangis? Sini bilang sama gue, biar gue tarik bulu idungnya! Kalau perlu gue jambak rambutnya sampe botak, terus gue tampol bibirnya sampe jontor! Bisa-bisanya tuh orang bikin bayi marshmallow gue nangis!" kata Jeffrey berapi-api.

Entah Rose harus tertawa atau tidak, tapi perkataan Jeffrey dengan gaya bicaranya yang nyeleneh dan agak humoris itu dapat membuat Rose menarik sedikit sudut bibirnya meskipun hanya seperkian detik.

"Rose..." panggil Jeffrey lagi karena Rose tak kunjung membuka mulutnya.

Rose menggeleng, ia hanya ingin pelukan hangat Jeffrey sebentar saja agar dirinya menjadi agak tenang. Setelah itu ia baru akan bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Jeffrey mengangguk mengerti, ia membawa Rose masuk ke dalam flat. Tidak enak kalau berdiri di depan pintu flat, jika si Nyonya Florita lewat lalu melihat. Bisa habislah Jeffrey diledek sampai lupa diri.

Mereka melepaskan pelukan tersebut. Tangan Jeffrey menangkupkan kedua pipi Rose, lalu mengelusnya lembut.

"Jangan sedih ya," kata Jeffrey dengan senyum lembut, Rose mengangguk. Jeffrey sangat ingin membuat Rose tenang, dengan memberikan kata-kata penyemangat atau kata-kata menenangkan yang membuat Rose senang. Namun yang keluar dari mulutnya malah... "Lo jelek kalau nangis, muka lo mengkilat banget kayak disiram minyak tanah satu liter. Serius deh!"

Rose tak marah mendengar perkataan Jeffrey, ia malah tak bisa menahan kekehannya meski air mata terus mengalir dengan lancarnya. Jeffrey selalu berhasil membuat Rose tersenyum dengan caranya sendiri.

Jeffrey ikut terkekeh, sebenarnya sangat sulit mengeluarkan kata-kata manis dari bibirnya. Entah kenapa? Disaat ia ingin memuji Rose, namun yang keluar adalah kata-kata mengatai. Jika ia ingin membuat Rose tenang, yang keluar dari bibirnya malah kata-kata menjengkelkan seperti tadi. Dan saat ia ingin memberitahu Rose dengan baik-baik, tapi kesannya pasti seperti Jeffrey yang ngotot dan nyolot. Itulah Jeffrey, ia unik dengan caranya sendiri. Ia unik dengan mulut pedas dan sikap menyebalkannya.

"Jeff..."

"Ya?"

Rose malah diam, Jeffrey kembali mendekat untuk memeluk tubuh Rose.

"Jangan nangis," bisik Jeffrey. Hati gue ikut sakit kalau lo nangis, bahkan sakitnya lebih dari patah hati. Lanjut Jeffrey dalam hati.

♥♥♥

One step closer :)

Semakin dekat langkah Jepri dalam permodusan ini.

Juliet's House Where stories live. Discover now