✿ 00.29✿

32 2 0
                                    

Tidak mungkin seseorang rela melakukan apapun, melainkan karena ia cinta

•••••

Insani tergemap mendengar penuturan Rakha tadi pagi. Sebenarnya tadi malam dia memimpikan pria itu, Insani tak sengaja tertidur di pangkuan Rakha di sebuah taman berbunga rimbun. Angin-angin sore membuai mata Insani seperti nyanyian merdu dan decit burung seperti dongeng pengantar tidur. Insani entah bagaimana bisa bermimpi seindah itu bersama Rakha. Kepalanya ditampung Rakha ke pangkuannya hingga ia tertidur pulas sekali. Tidur di dalam mimpi. Sampai akhirnya bangun, Insani beranjak dengan ragu dari paha Rakha. Ia mengucek-ngucek mata dan menelan saliva pahit karena tersadar ia tidur di sama, di pangkuan siapa. Saat itu Rakha juga ikutan tertidur dalam keadaan duduk. Rakha membuka matanya berlahan dan melihat ke arah wajah Insani yang bertekuk. Pias wajahnya terlukis rona canggung.

Insani mencoba bertanya, "Rakha, mengapa kamu berikan pangkuanmu untukku? Kamu nungguin aku sampai kamu pun ketiduran."

"Karena aku menyayangimu," katanya setengah sadar dari tidurnya.

Insani terus melihat Rakha yang sudah hilang meninggalkan perasaan campur aduk di hati dan pikirannya. Insani tiba-tiba saja merasa canggung untuk pergi ke kantor dan ... bertemu dengan Rakha. Apa? Malu bertemu dengan Rakha? Tidak, yang benar saja.

Insani mengembuskan napas dari bibir yang dibuat runcing. Mengelus-ngelus dada untuk memulihkan detak jantung supaya kembali berdetak normal. Insani balik dan masuk untuk segera bersiap-siap berangkat ke kantor. Sudah tiga hari lamanya ia tidak masuk kantor dan kehadiran Rakha sangat membantunya. Pria itu memang sangat baik.

Insani menyantap sarapannya kali ini. Hal itu membuat bibi menyiapkan sarapan dengan girang. Pikirnya setidaknya ia tidak perlu repot-repot memanaskan lauk-pauk karena tidak habis dimakan sekali. Insani langsung berangkat begitu selesai sarapan. Meskipun begitu jujur saja pikirannya terarah kepada Rakha seorang. Bisa pria itu mengatakan sesuatu yang dirasa tidak mungkin oleh Insani. Entah itu sebuah candaan atau penyataan kejujuran tentang perasaannya kepada Insani, yang pasti saat ini hati dan pikirannya tidak tenang. Kata-kata Rakha tadi mengambil alih jalan pikirannya. Ada rasa penasaran di dalam hatinya tentang kebenaran kata-kata Rakha itu. Ada perasaan malu dan canggung juga untuk bertemu dengan Rakha jadinya. Ah, perasaan aneh apa ini. Bahkan bersama Azim, Insani tak seaneh ini.

Tak sadar Insani sudah berada di teras luar. Ia menghembuskan napas kasar, mencoba mengembalikan kesadaran. Ia melihat jam tangan di pergelangan tangannya, sudah pukul setengah delapan.

"Pak, Pak supir," panggil Insani dengan keras. Ia tak bergairah menyetir, ia butuh supir untuk mengantarkan ke kantor. Beberapa saat supir pun datang.

"Iya, Neng?"

"Antar Insani ke kantor, ya, Pak? Insani lagi nggak mood bawa mobil. Ini kuncinya," imbuh Insani menyodorkan kunci mobil.

"Baik, Neng," balas supir dan bergegas mengeluarkan mobil dari garasi. Insani melesat ke kantor.

Sesampainya di kantor, Insani terburu-buru untuk sampai ke ruangannya. Saat hendak masuk ia tak sengaja melihat Rakha sedang sarapan di kantin sambil berbincang ringan dengan Ulung Abduh. Rasa malu Insani menguasainya lagi. Ia bergegas melanjutkan langkahnya saat manik miliknya dan milik Rakha beradu dari kejauhan.

Apaan sih, Rakha. Buat apa lihat-lihat aku.

Wajah Insani memerah seperti tomat matang. Ia salah tingkah, berjalan sambil membereskan bajunya meski tak berantakan. Ia pun langsung naik setelah memerintah seorang pelayan yang kebetulan lewat di dekatnya. Ia meminta pelayan itu membuatkannya kopi. Rasa kantuknya masih ada karena beberapa hari tidak tidur secara teratur. Begitu sampai ke lantai tiga ia langsung mendekati meja kerja Hera. Wanita itu tersenyum saat Insani mendatanginya. Apaan ini? Hera masih bisa tersenyum? Sedangkan Insani sedang gundah gulana memikirkan kata-kata Rakha dan bertemu dengannya saja ... Ah, mending jangan deh. Jujur saja, Insani pasti salah tingkah.

"Hera," panggilnya mendekat dengan gamang.

"Selamat pagi, Bu Insani. Akhirnya ibu masuk kantor juga. Bagaimana kabar ibu?"

"Eh iya, baik-baik Hera, saya baik," jawabnya bicara tak karuan. Insani seperti dikejar-kejar makhluk jadi-jadian, bertingkah aneh.

"Ada apa, Bu? Pak Azim ngejar-ngejar ibu lagi?"

"Bukaaaan!" Insani berdengus untuk mengontrol lidahnya. "Saya cuma mau katakan tolong kamu larang siapapun masuk ke ruangan saya, ya? Terutama jurnalis Rakha, eh—"

"Pak Rakha?" eja Hera, bingung.

"Maksudnya semuanya, Hera, semua. Tolong kamu bilang ke siapapun jangan masuk ke ruangan saya hari ini, ya? Saya lagi ingin konsentrasi bekerja, ya? Tolong, ya?" katanya, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

"Baik, Bu," balas Hera masih bingung.

"Oh ya, nanti kalau ada pelayan datang jangan dilarang. Kalau selain dia larang saja."

"Baik, Bu."

Begitu Insani masuk, tak lama pelayan yang disebutnya tadi pun datang. Hera hanya bisa tersenyum hambar sambil mengawasi pelayan itu dari masuk hingga keluar ruangan Insani.

"Bu Insani aneh banget. Kerjaku bukan ngawasin dia, 'kan? Aku 'kan sekretaris direktur bukannya bodyguard."

"Hei, Hera, apa Insani sudah masuk ruangannya?" tanya Rakha datang tiba-tiba.

"Sudah, Pak."

"Saya masuk, ya?"

"Et, tunggu, Pak. Jangan masuk," larang Hera langsung berdiri di hadapan Rakha. Rakha mendekatkan wajahnya ke wajah Hera untuk mengagetkannya.

"Kenapa? Biasanya is ok nggak masalah, 'kan?"

"Ya hari ini beda, Pak. Bu Insani melarang siapapun untuk masuk ke ruangannya. Ibu katanya lagi pingin fokus sama kerjaannya."

"Saya mau masuk, sebentar aja."

"Jangan, Pak," tahannya sambil menarik lengan Rakha.

"Ih, apa sih pegang-pegang."

"Ih, makanya jangan masuk."

"Ya udahlah, saya ke ruang cetak aja." Rakha berlalu dengan wajah tekuk.

Kenapa Insani masuk kantor kalau nggak mau didatangi? Dia itu nggak pernah enggak aneh. Memang, ya?

Matahari sudah meninggi. Pekanbaru tidak terlalu panas seperti biasanya. Masih ada angin-angin halus berhembus. Insani mengelus-elus perutnya. Ah, sebenarnya ia mulai merasa lapar, tapi ruangan ini seperti pelindung baginya untuk tidak bertemu dengan tampang si Rakha yang ngeselin. Namun, ngangenin, maybe.

Insani berulang kali mondar-mandir dari meja kerja ke ambang pintu. Dari balik kaca pintu semoga saja dia bisa mengintip kondisi di luar sana. Entah mengapa karena Rakha Insani bisa seaneh ini. Entah mengapa Rakha bisa dengan mudah mengaduk hatinya, mengotak-ngatik pikirannya.

"Laper," keluhnya di balik pintu. "Apa kira-kira Rakha makan siang di luar atau di kantin, ya? Huh, kalau begini benaran deh aku go-foody aja."

Insani merogoh handphone-nya, memesan makanan via virtual. Setelah mengklik pesanan, ia gantian menelepon Hera.

"Hallo, Hera?"

"Iya, Bu?"

"Kamu tidak istirahat makan siang?"

"Ini mau turun, Bu."

"Oh, tolong nanti ada kurir nganter makanan pesanan saya suruh naik aja ke ruangan saya, ya?"

"Baik, Bu."

"Terima kasih."

Insani berharap tidak bertemu dengan Rakha hari ini. Namun, sayang saat Insani menerima pesanan makanannya justru Rakha melihatnya. Wajah Insani merah padam saat membalas tatapan Rakha. Ia buru-buru membayar pesanan dan masuk sebelum Rakha menghampirinya.

Menjemputmu #ODOCtheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang