✿ 00.28 ✿

32 3 0
                                    

Kalau dedap durhaka, durhaka karena lupa pada ibunya dan Azim, durhaka karena lupa pada kekasihnya (wkwk)

•••••

Masih pagi dan beberapa orang tetangga sudah berbisik-bisik di depan pagar rumah berwarna abu tua itu.

"Ih, yang benar begitu, Bu? Setahu aku Pak Hanafi itu baik lho orangnya," sambung seorang ibu yang baru datang.

"Pak Hanafi baik, Bu, anaknya yang nggak. Masak semalam ada cewek datang terus pulangnya teriak-teriak manggilin Insani dengan sebutan pelakor."

"Ah, yang benar?"

"Iya, aku lihat sendiri, Bu di situ di luar pagarnya."

Rakha tak sengaja mendengar cerita tak mengenakan itu tentang Insani. Rakha yang mencintai Insani sontak kaget dan merasa kesal. Ia mendatangi ibu-ibu yang merumpi itu.

"Ibu-ibu, maaf, Insani tidak seperti yang ibu-ibu ucap. Dia gadis baik-baik. Pria itu yang mendatangi Insani dan minta balikan dengan Insani setelah tiga tahun menghilang. Dia harusnya tahu diri sudah punya istri dan anak masih saja mau menjalin cinta dengan wanita single. Coba ibu-ibu bayangkan di mana letak jalan pikirannya."

Mereka ngangguk-ngangguk takzim, mengerti.

"Lagian 'kan keluarga Pak Hanafi itu keluarga baik-baik. Insani dengannya hanya berhubungan sekitar dua mingguan kurang kok, Bu. Insani memang salah, tapi tak sepenuhnya salah dia. Dia sudah tidak berhubungan lagi dengan pria itu."

"Siapa pria itu, Pak?"

"Azim."

"Oh, Azim. Pantas aja. Kurang ajar benar dia. Memang kita semua tahu, Pak, Azim itu sudah pacaran dengan Insani bertahun-tahun. Nggak nyangka, ya, kalau dia pulang-pulang jadi kayak gitu. Ih, lupa daratan dia pasti."

"Lupa kulit, Bu," sambung yang lain. Yang lain ikutan mengangguk dan berbisik-bisik membenarkan.

"Ya sudah, saya mau masuk dulu, ya, Ibu-ibu."

"Eh, Bapak ini siapanya Pak Hanafi? Sering juga lihat, 'kan?" tanyanya kepada orang-orang di sekelilingnya.

"Saya Rakha, jurnalis yang bekerja di kantor Pak Hanafi."

O-ohhh

Rakha masuk dan menemui Insani yang merintih. Makanan yang diantar Bibi dari tadi tak ia sentuh bahkan tak ia lirik. Insani bergeming di atas kursi dekat jendela kamarnya sambil melepas tatap ke arah luar. Sudah pukul empat sore dan kata bibi tadi Insani belum makan dari kemarin. Sebelum Rakha ke sini. Rakha mendekat setelah membawa baki berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya yang sudah dingin dan segelas air putih. Rakha melangkah dengan amat hati-hati.

"Dulu, kamu suka lihatin mobil lalu-lalang lewat jendela ruang kerja kamu di kantor. Sekarang justru suka menyendiri begini di depan jendela kamar kamu." Rakha berdiri tetap di samping Insani. Insani tak mengatakan apapun, lalu Rakha kembali bicara, "Insani, kamu belum makan. Ayo, makanlah."

Insani tetap diam. Ia pun enggan menoleh, masih nyaman di posisi dan keadaannya saat ini. Rakha berpindah ke sisi lain dari posisi duduk Insani. Ia setengah berjongkok.

"Kalau kamu nggak makan bisa sakit. Ayolah, makan. Bibi sudah masakin kamu ini sejak tadi siang, tapi bahkan sampai sesore ini kamu belum memakannya, Insani. Aku suapin aja, ya?" Rakha menyendok nasi itu dan mengarahkannya ke mulut Insani. Insani menggeleng dan enggan membuka mulut. Kini ia justru menolak pandangannya ke arah yang lain.

Rakha berdengus, lalu meletakkan baki ke atas meja kembali. Ia berjalan lagi mendekati Insani. Kali ini berdiri tepat di depan jendela kamar dekat Insani itu dengan tangan ia letakkan di kusennya. Ia celingukan sebentar, memperhatikan langit sore yang semakin gelap. Matahari bak piringan batu putih di bagian terbarat bumi. Malam akan datang sebentar lagi.

"Kamu tahu Insani, semua ini sepenuhnya bukan salahmu. Kematian itu takdir Tuhan, takdir Allah, kita manusia tidak akan pernah bisa menerkanya atau meminta mati seperti apa. Emang kematian kayak request lagu di radio? Nggak, 'kan?" Rakha duduk di kusen jendela sambil memandangi Insani. "Ayahmu meninggal dengan tenang, Insani. Perlu kamu tahu dia menitipkanmu padaku. Bagaimanapun aku merasa bertanggung jawab atasmu."

"Kamu bisa resign kapanpun," katanya sambil berdiri. Ia kemudian melangkah ke luar rumah. Rakha mengikuti.

"Bukan, bukan maksudku mau resign," tolaknya. "Insani, aku hanya mau jelasin ke kamu kalau ayahku baik, dia tidak ada sedikitpun benci kepadamu. Tolong, jangan berlarut-larut dengan masalah ini, ya?"

Langkah Insani terhenti. Mereka berada di balkon terbuka di lantai kedua rumah Insani. Pandangan ke arah hutan gambut di belakang rumah Insani.

"Pulanglah kalau kamu ingin pulang, Rakha. Jangan risaukan aku yang bodoh ini. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini."

"Insani, apa yang mengganggu pikiranmu hingga seperti ini?"

"Banyak. Aku ini wanita bodoh, Rakha yang mau jadi selingkuhan Azim. Aku ini anak durhaka yang tidak mau dengar kata-kata ayah. Siapa yang lebih bodoh dari aku? Pulanglah, biarkan aku menghabiskan hidup dengan penyesalan ini."

"Insani, kamu wanita yang baik kok. Yang kemarin-kemarin itu sepenuhnya bukan kesalahanmu. Yakin, ya, kamu harus lepaskan semua masa lalumu, jangan betah di sana aja. Coba ingat-ingat berapa kali aku katakan ini padamu. Kamu hanya terus memaksa diri selalu berada di masa lalumu, pergilah dari situ. Mulai hidup yang baru, ya?" imbuh Rakha sambil mencengkram jemari Insani. Berlahan Rakha menarik tubuh Insani ke dalam dekapannya. Angin sore bertiup romantis.

*****

Malam sudah datang. Rakha membawa nasi dan lauk-pauk yang baru dan masih hangat dari dapur. Bibi yang memasak dan Rakha hanya membawa makanan ini ke kamar Insani. Besar harapannya supaya kali ini Insani mau memakannya.

Tok ....

"Makanan sudah dataaang," ujar Rakha berusaha mencairkan suasana. Insani yang bersandar di atas kasur itu melihatnya. Rakha duduk di sisi Insani, lantas berkata, "Waktunya makan anak manja."

"Aku tidak ada nafsu untuk makan, Rakha."

"Kamu harus makan, kalau—"

Tlililitttt ....

"Iya, hallo, Ma?"

"Assalamu'alaikum, Aka, lagi apa? Bidok kangen nih."

"No, Mas, mama yang kangen. Ayah 'kan lagi di Pacitan, jadi kalau masa-masa gini kata mama keingat Mas. Kalau Agra mah kangen duitnya," sambung seorang pria dari seberang diikuti suara tawa ringan. Dia adalah Bidok alias Agra, adik Rakha.

"Hust, diam!" sergah mama. "Lagi apa, Aka?"

"Lagi makan nih, Ma, sama anak bos Aka," jawabnya dengan berbisik saat menyebutkan anak bos Aka.

"Ini, bicaralah sama mamaku," kata Rakha menjulurkan handphone kepadanya Insani. Insani berbincang dengan mama Rakha, sementara Rakha berlahan menyuapi Insani.

"Aka itu, Insani, heran ibu lihatnya."

"Kenapa, Bu?"

"Betah kali jomblo. Temannya, teman kuliah, teman kerja, teman sekolah, sampai ke tempat SD udah pada nikah, lho. Tinggal dia aja yang belum nikah sampai sekarang."

"Karena belum ketemu jodohnya, Bu."

"Kalau gitu, Nak Insani mau nggak jadi jodohnya Aka?" tanya mama Rakha spontan saja. Rakha terperanjat mendengar kata-kata mamanya.

Apaan sih? Mama buat malu aja.

*****

Rakha tadi malam tidak tega harus meninggalkan Insani sendiri di kamarnya. Alhasil ia justru tidur di sofa dalam kamar Insani. Pagi itu Insani membangunkannya dengan gamang.

"Rakha, bangun."

"Eh, iya?"

"Kamu tidak kerja? Aku akan bersiap-siap berangkat kerja."

"Iya," jawabnya.

Insani mengantarkan Rakha ke depan rumah.

"Rakha makasih, ya, kamu baik banget kepadaku."

"Iya, sama-sama." Rakha mulai berjalan mendekati motornya.

"Tunggu! Kenapa kamu baik banget kepadaku, Rakha?"

"Karena aku mencintaimu," jawabnya tanpa berbalik dan langsung pergi.

Menjemputmu #ODOCtheWWGWhere stories live. Discover now