✿ 00.27 ✿

28 3 1
                                    

Bergeming dengan seribu bahasa hati tanpa lontaran

••••

'Ayah kamu semakin kritis, Insani. Keadaannya jantungnya semakin parah', kata-kata itu terniang di daun telinga Insani. Wanita itu beringsut sambil menangis di kursi luar, meratapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepada ayahnya, orang satu-satunya yang ia punya. Tidak bisa ia lukisan bagaimana bodohnya ia saat ini. Bagaimana bisa ia menjalin hubungan kembali dengan Azim meski hanya sebentar? Kegilaan yang membuatnya menerima semua ini. Hanya wanita bodoh yang mau menjadi selingkuhan seorang pria yang sudah beristri dan wanita bodoh itu adalah Insani. Ia sudah mencoreng garis hitam di wajah ayahnya. Ayah yang terbaring lemah tak sadarkan diri di dalam sana. Bersiap siaga dengan apapun yang mungkin terjadi. Tak henti-hentinya do'a Insani panjatkan untuk kesembuhan ayah. Ini semua akibat dari perbuatannya. Rakha yang terus mengawasinya dari depan pintu ruang rawat ayah Insani berulangkali bergantian melihatnya, lalu ayah Insani.

Langit sudah semakin gelap. Bumi dikepung malam. Bintang dan bulan bertebaran di permadani langit gelap tanpa sekat. Jendela kamar rawat ayah Insani dibuka sedikit. Masuklah angin malam, tipis saja. Insani tetap duduk di kursi di sebelah kiri ayahnya yang tak kunjung sadar sejak pingsan di kejadian tadi sore. Rakha berdiri di depan jendela mengintip Insani dengan ekor mata. Ia menghembuskan napas panjang, lalu berjalan mendekati Insani.

"Insani, pulanglah, kamu pun butuh istirahat. Aku akan di sini nungguin Pak Hanafi," imbuh Rakha saat menyentuh sebelah pundaknya. Insani melihat tangan di pundaknya itu dengan ekor mata tanpa membalas perkataan Rakha. Kini Rakha justru berpindah ke sampingnya. Rakha menatap dalam ke pias wajah Hanafi yang semakin pucat, lalu berlahan menyentuh jemariny, dingin sekali.

"Apa menurutmu ayah akan sembuh?" tanya Insani dengan air wajah termenung. Ia sadar atau tidak bertanya seperti itu.

"Maksudmu?" Rakha balik bertanya, "Insani, kamu harus yakin Pak Hanafi akan sembuh, ya?"

Ia berdengus, "Entahlah, tapi aku tidak yakin. Aku takut, takut kehilangan ayah. Aku ini anak durhaka, Kha, menjadi penyebab ayahku kritis seperti ini. Aku bahkan belum sempat membahagiakan ayah."

Adzan isya berkupu-kupu menyisir ruangan bercat putih itu. Insani tertegun mendengarnya, lalu menangis lagi lebih deras. Ia belakangan semenjak kehilangan Azim jarang sekali sholat dengan khusyuk. Terlalu menafsirkan hidup dengan hal-hal buruk.

"Pulanglah, aku akan menjaga ayahmu di sini."

"Aku, aku akan pulang," akhir Insani.

Insani pulang diantar supir. Ia sulit tidur. Sejak ayahnya sakit ia merasa ayahnya semakin jauh darinya. Ia bersujud meminta ampun pada Yang Mahakuasa. Berlarut-larut ia memendam kesedihan hingga lupa Tuhan. Ia meminta kesembuhan kepada ayahnya dan memohon dipermudah segala urusannya. Insani teramat sesal setelah dicaci-maki oleh Yumna. Ia semakin sadar kalau pilihannya menerima Azim lagi hanyalah sebatas tepi jurang dan akhirnya sekarang Insani yang justru terpeleset ke dalamnya.

Sementara Rakha tetap menemani Hanafi. Dia bahkan tidur di sana setelah sholat di musholla rumah sakit. Tak lupa ia pun mendoakan kesembuhan untuk bos keduanya itu setelah Pak Akbar. Saat berjalan di koridor menuju ruang rawat Hanafi, tiba-tiba handphone-nya berdering.

"Iya, hallo, Ma?"

"Kapan pulang, Aka? Mama kangen sama kamu. Sudah dua tahun tidak pulang-pulang. Lebih betah di kampung orang kamu, Aka?"

"Ma, ada masalah, Bos Aka yang di sini jatuh sakit. Jantungnya kumat dan sekarang kritis sudah tiga hari."

"Jadi tidak bisa pulang, ya?"

Menjemputmu #ODOCtheWWGWhere stories live. Discover now