Sadewo tau jika itu bukan cinta, tapi diapun tau dia dan Juna membutuhkan Gina.
"menikah ngga semudah itu Wo"
"memulai baru bukan suatu hal yang sulit mba"
"Juna ngga mau sekolah, semua teman Juna punya ayah sama ibu, Juna aja yang ngga punya"
Gina menatap sayu pria muda dihadapannya itu. Seorang single parent yang bahkan belum pernah menikah itu harus menanggung sedihnya seorang anak yang sedari kecil sudah kehilangan orang tuanya.
"Mulai pikirin deh cari ibu untuk Juna, Wo" Gina menaruh mangkok 2 makanan dimeja makan lalu memanggil Dewo untuk duduk disitu.
"Kita nikah aja yuk mba" ucap Dewo sambil melihat hasil coretan Juna hari ini yang ada di meja makan
"Wo, becandamu kelewatan" Gina menunduk, meremas tangannya kuat kuat ketika mendengar ucapan Dewo.
"Aku ngga becanda mba" Dewo melihat kecemasan yang dirasakan Gina. "Mba, are you ok? Sakit? Kenapa keringetan" Dewo seketika berdiri mengambil air putih untuk Gina, Gina menggeleng lalu berusaha beranjak dari tempat duduknya.
"Mba, minum dulu. Maaf. Aku minta maaf." Dewo menangkan Gina yang bergetar mencoba berdiri namun terlalu limbung.
Diminumnya dengan cepat air putih dari Dewo lalu ditepuk tepuknya dadanya sendiri, proses healing yang selalu dilakukan Gina jika paniknya mulai menyerang.
"Its ok, Gina. Its ok" diulangnya terus kata kata itu dalam hatinya sampai akhirnya tubuhnya tenang dan Gina bisa membuka matanya.
Dilihatnya Pria tampan yang sedang panik dan ngga tau harus melakukan apa. Dipasangnya senyum paling manis didepan Dewo. "Mba ngga apa Wo, maaf bikin panik" Gina mengelus lembut pipi Dewo.
"Mba, ada yang mau diceritain? Kita sudah kaya saudara kan?" Kata Dewo sambil mengelus tangan Gina lembut diatas meja makan.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pantri minimalis bernuansa putih coklat itu jadi tempat Gina mencurahkan rahasia yang selama ini dia tutup rapat-rapat dari semua orang. Malam ini diceritakan semuanya ke pria didepannya, yang entah kenapa sepertinya dia merasa harus menceritakan hal itu ke Dewo.
"Ceritanya panjang Wo. Menikah bahkan sudah bukan jadi pilihan hidupku" Gina mulai memasukkan sesuap pisang keju yang Dewo bawa tadi.
"Its ok mba. I have a lot of time tonight. Besok juga aku free, waktuku panjang" Dewo tersenyum manis. Sangat manis sampai membuat wajah Gina tiba tiba memerah.
"Mba sebenarnya bukan anak yatim piatu" wajah Dewo seketika meredup, namun tetap menunggu kelanjutan ceritanya.
"Empat tahun lalu, mba keluar dari rumah. Keluar dari keluarga. Keluar dari cita cita. Keluar dari harapan masa depan" Gina menenggak segelas penuh air putih. Dia seperti butuh tenaga ekstra untuk mulai menceritakan bagian selanjutnya.
"Aku hamil." Katanya setelah meletakkan gelas dengan sedikit menghentak. Dewo melotot, terlalu terkejut bahkan sampai tidak mampu berkata apa apa.
"Ha ha ha, ekspresimu lucu." Gina melanjutkan setelah mencubit lembut pipi Dewo.
"Aku hamil, pacar kakakku lah ayahnya. Semua terlalu cepat, aku bahkan lupa bagaimana detik demi detik kejadiannya, yang aku tau, pacar kakakku datang kerumah ketika kosong, lalu pintu kamar terbuka, aku dipaksa sampai berdarah darah, lalu ditinggal begitu saja setelah mengancam akan membunuh kakakku jika aku berani berbicara" Gina menarik nafas dalam dalam.
"Mba, kalo sakit ngga usah diceritakan" Dewo menggenggam tangan Gina lebih kencang. Entah ada perasaan apa, namun hatinya terasa sakit ketika membayangkan apa yang terjadi dengan Gina.
"Ngga apa, mba sambil latihan cerita." Gina masih saja tersenyum.
"Singkat cerita, mba ketahuan hamil, dan diusir dari rumah. Aku mengalah untuk keluar dan sampai langkah terakhir aku keluar dari rumah, aku tidak pernah mengatakan siapa ayahnya. Untukku, aku lebih memilih fokus merawat bayiku daripada mencari siapa yang harus bertanggung jawab"
Dewo menatap lurus mata wanita didepannya ini, tak menyangka kisahnya sesakit itu.
"Mba bertemu ibu Riani, yang nolong mba waktu ngga tau harus kemana, tapi ya gitu, ketika sudah dirawat dengan baik sama Ibu, ternyata Tuhan lebih sayang sama anak mba, dia meninggal ketika usia 5 bulan dalam kandungan. Aku pendarahan hebat sampai harus operasi dan butuh banyak darah" Gina memperlihatkan bekas luka operasi di perutnya sambil tersenyum. Dewo yang berkaca kaca.
"Mba kehilangan orang tua, kehilangan keluarga, kehilangan anak, kehilangan masa depan karena harus berhenti dari kuliah S2 yang mba dapat dari jalur beasiswa" Gina tersenyum dan berdiri mengambil tisu di meja tengah untuk menghapus air mata Dewo yang ternyata sudah banjir.
"Dan mba, kehilangan laki laki yang paling mba cintai, yang berjanji akan menikahi ketika gelar master sudah aku dapat. Semua hilang" Gina menghapus sisa ingus yang masih tertempel diujung hidung Dewo.
"Ganteng ganteng ingusan" Gina sedikit terkekeh. Dewo pun ikut tertawa tipis.
"Kuat banget perempuan satu ini" Dewo secara reflek memeluk wanita didepannya itu. Gina merasa ada hangat di hatinya ketika selesai menceritakan sesuatu yang selama ini dia tahan.
"Pasti sakit banget ya, mba. Tapi memulai yang baru juga bukan hal yang sulit" banyak makna tersirat dari kata kata Dewo.
"Pindah ke sofa yuk Wo, pengen nyender" Gina melepas genggaman tangan Dewo lalu berjalan tenang ke sofa.
Dewo mengikuti langkah Gina lalu duduk disamping wanita yang berhasil membuatnya kagum itu.
"Abis mba cerita gini, aku jadi makin pengen nikah sama kamu. Yuk seriusin" Dewo menatap lurus kedepan tanpa berani menatap mata Gina, sedangkan Gina duduk terdiam menghadap wajah tampan disampingnya itu.
"Mba Nawang sama Mas Bimo pasti bahagia diatas sana kalo tau aku nikah sama kamu, dan anak mereka dirawat sama kamu Mba, anggap aja, Juna kamu rawat, mereka rawat anak kamu diatas sana" Dewo berdiri lalu berjalan menghadap jendela besar diruangan itu, melihat langit malam itu yang penuh bintang.
Merindui almarhum kakak tersayangnya. Ibu dari Juna yang tiga tahun lalu meninggal bersama suaminya karena kecelakaan mobil saat bepergian untuk pekerjaannya.
"Mba Nawang, bantu Dewo untuk kasih ibu yang baik buat Juna ya" Dewo tersenyum menatap langit malam itu, lalu menoleh ke belakang, kearah Gina yang sudah berkaca kaca menatapnya tanpa suara.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.