Du to the A

44 6 1
                                    

Beberapa mobil sudah terparkir di depan kantor desa saat Koordinator Dusun, Wahyu Ismaman mulai membacakan pembagian dusun. Dari dusun satu hingga terakhir, Adis mengusap-usap kedua tangannya. Selain karena cuaca di tempat ini begitu dingin, ia juga merasa harap-harap cemas jika ditempatkan bersama mahasiswa yang tak ia kenali. Apalagi, nama Kiky telah disebut ditempatkan di Posko 2 tanpa dirinya. Hingga pembacaan nama mahasiswa di Posko 4 juga nama Serli telah disebutkan, tanpa namanya.

Dengan cepat, ia berdiri dari duduknya, menghampiri Wahyu yang sebenarnya ia juga tak kenal. Sedikit segan, tetapi sadar ia tak bisa berbuat apa-apa.

"Namaku tidak ada," keluhnya pada Wahyu yang kini duduk dan fokus pada kertas yang bertuliskan nama-nama mahasiswa.

Tidak ada jawaban selain dari teman Wahyu yang mengeluarkan suara seraya menyenggol bahu si Koordinator Desa tersebut. "Belum ada namanya," tegurnya seraya berbalik ke arah Adis, "Namamu siapa?"

"Adisya," jawabnya sungkan.

Wahyu menyerahkan kertas yang berisikan nama-nama mahasiswa beserta lokasi dusun ke Adis. Perempuan bertubuh mungil itu menyipitkan mata hingga kepala miring. "Gak tau saya bacanya. Tulisannya jelek, eh." Sungguh, Adis ingin hilang dari muka bumi di detik terakhir saat mengucapkan hinaan tersebut. Entah Wahyu mendengar ejekan tersebut atau tidak, tetapi ia menyadari tawa dari Iqra yang mengambil alih kertas dan mengangguk menyetujui bahwa nama Adis tidak ada pada kertas tersebut.

"Oke, di posko 4, ya," ujar Wahyu seraya menulis nama Adisya tepat di bawah nama Serli.

Walau bersyukur akhirnya namanya telah disebut, juga mendapat posko yang sama dengan Serli, tetapi batinnya masih bergejolak merutuki mulutnya yang asal ceplos.

***

"Dis, saya duluan, ya? Teman seposkoku sudah lengkap di mobil, mau berangkat," ujar Kiky yang berlari terburu-buru meninggalkan Adis ya g berdiri mematung di depan pintu kantor desa.

Grasak-grusuk terdengar begitu jelas kala para mahasiswa mulai menarik koper menuju posko masing-masing. Adis terdiam, mematung tak tahu harus berbuat apa sampai pada akhirnya seorang sopir berteriak, "Posko 4!"

"Saya!" serunya refleks.

"Kopernya mana, Dek?"

Adis menunjuk koper merah dengan ukuran besar. Milik Serli. "Itu ... sama ...," tunjuknya lagi pada koper hitam miliknya, "itu!"

"Oke, mobilnya ada di depan sana, Dek, ya, warna silver."

"Siap!" sahutnya kembali.

Saat akan melangkahkan kaki, terdengar suara mahasiswa yang berdiri tepat di belakangnya. Mahasiswa tersebut berteriak seraya mengayun-ayunkan tangannya ke atas. "Posko 4, posko 4!"

Walau sedikit ragu, tetapi Adis tetap berbalik. "Saya," jawabnya.

"Oh, kopermu mana?"

"Sudah dibawa sama ...."

"Ya, harusnya jangan kasih kopermu ke sembarang orang, dong," katanya.

Adis menyipitkan matanya tak terima, seenaknya ngegas, padahal kenal saja belum. Akhirnya, ia memilih mencari sendiri di mana letak mobil yang akan mengantarkannya ke posko 4. Dua orang perempuan berdiri di depan pintu mobil seraya menepi memberi jalan Adis tuk masuk lebih dulu. Perempuan itu kini telah duduk di posisi tengah, diapit oleh dua perempuan atau mahasiswi yang tak ia ketahui namanya.

Pak sopir masuk, menghitung jumlah anggota di dalam mobil yang hanya 4 orang. "Kurang satu?"

Adis mengangguk. "Iya, teman saya, dia nyusulnya entar atau besok."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sudut Terkecil di Posko 4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang