✿ 00.24 ✿

25 3 3
                                    

Kalau khawatir, harusnya hal itu tidak pernah kamu lakukan

•••••

Pukul empat sore. Insani pulang lebih awal karena merasa bosan melihat Rakha. Seharian ini Raka tidak bicara kepadanya, tetapi selalu ada di manapun Insani ada. Dalam hati kecilnya sebenarnya Insani ingin menyapa, Raka tetapi hari ini Raka sangat cuek kepadanya. Daripada dia merasa bimbang Dia memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal saja. Sesampainya di rumah dia langsung membersihkan badan. Ayahnya merasa heran mengapa Insani pulang lebih awal. Ayahnya berniat untuk menanyakan langsung kepada Insani di dalam kamarnya.

Walaupun langkah kaki ayah sudah mulai gontai, tetapi ia masih beringinan banyak, maksudnya ia juga bosan harus di rumah saja mengurung diri. Makan makanan yang sehat, dan tak jarang makanannya tidak berasa sama sekali alias hambar. Ia sampai di kamar Insani. Insani sedang berada di dalam kamar mandi. namun handphone Insani yang tergeletak di atas tempat tidur berdering terus-menerus tanpa henti. Ayah mendekati ranjangnya dan perlahan meraih handphone itu. Dilihatnya yang memanggil tertera dengan nama 'Mine Azim'. Sontak ayahnya merasa ganjal. Ia mulai merasa sesak sedikit di dadanya. Dengan perasaan risau ia mencoba ia mengangkat telepon itu dan membisu. Niatnya hanya untuk mendengar suara dari pemilik nomor yang menelpon Insani itu.

"Hai, lama sekali ngangkatnya telponku. Kamu lagi apa, Sayang? Udah pulang ngantor kah? Aku kangen, bisa ketemu?" imbuhnya dari balik telepon.

Ayah Insani naik pitam dan langsung menyerbu Azim, "Hai, anak tidak tahu diri. Ngapain kamu masih telepon-telepon Insani? Belum cukup kamu selama ini membuat dia menunggu selama 3 tahun, kamu mengerti itu?" ujarnya dengan suara keras.

Insani yang baru saja selesai mandi dan berdiri di ambang pintu terkejut melihat ayahnya marah-marah dengan seseorang di telepon di handphone-nya. Ia buru-buru mendekati ayah mencoba meraih handphone-nya.

"Ayah siapa nelpon, yah? Ayah kenapa marah-marah?" tanyanya risau. Ayahnya memelototi Insani. Matanya besar memerah. Insani merasa takut dan curiga kalau yang menelpon itu jangan-jangan Azim.

"Hai Om, sudah lama tidak ketemu. Bagaimana kabar Om, sehat?" tanyanya tanpa merasa bersalah.

"Kurang ajar kamu ya? Saya tegaskan kepada kamu, ya, Azim Jangan dekat-dekatin Insani lagi. Lagian saya sudah dengar kamu kembali ke Indonesia dari sama istri kamu. Bukan pemilik Insani lagi bukan pacar Insani lagi, ngerti kamu? sejak Insani seperti orang gila gara-gara kamu tinggal saya sudah benci sama kamu. Bahkan saya berharap kamu tidak kembali lagi Indonesia dan menemui Insani. Apa yang kamu lakukan ke anak saya itu fatal, kamu mengerti? Sekali lagi saya tegaskan jangan dekati Insani lagi."

"Insani mencintai saya, saya mencintai Insani. Anda jangan halangi kami. Insani saja menerima saya kembali apa hak Anda menolak hubungan kami?"

"Kau—"

Plak ...
Ayah Insani tiba-tiba terjatuh. Handphone itu mendarat di kasur Insani. Insani buru-buru mendekati ayah. Tangan ayahnya meremas dadanya, kesakitan. Insani panik.

"Ayah, ayah kenapa, yah? Ayah?" Insani menggoyangkan tubuh ayahnya. Buru-buru ia memanggil bibi dan meraih handphone-nya. Ia memutuskan telpon dari Azim dan memanggil dokter pribadi ayahnya.

"Halo, Dok, ayahnya saya pingsan."

"Bawa secepatnya ke rumah sakit, ya, saya juga langsung ke sana."

"Iya, Dok."

Buru-buru Insani dan pak satpam yang baru datang menggotong ayah masuk ke dalam mobil. Insani dan bibi yang datang belakangan membawa keperluan yang mungkin dibutuhkan langsung melesat menuju rumah sakit. Ayah sudah tak sadarkan diri. Supir disuruhnya cepat karena ia amat panik. Kepanikannya justru membuat ia menelepon Rakha. Ada magnet yang membuat jemarinya justru menelpon pria itu.

Rakha yang baru saja pulang dari kantor mendadak berhenti di pinggir jalan karena handphonenya berdering tidak berhenti. Sudah pukul setengah enam sore. Langit sudah mulai kelabu. Matahari perlahan sudah berada di kaki langit. mendengar penuturan Insani Raka buru-buru membalik arah menuju rumah sakit yang disebutkan Insani. Bagaimanapun Pak Hanafi adalah orang tuanya di Pekanbaru ini. Itu pernah disebutkan oleh Pak Hanafi dulu.

Ruang UGD menjadi tempat berbaringnya ayah Insani. Insani mondar-mandir sambil menggigit jarinya karena takut terjadi apa-apa dengan ayahnya. Raka yang dari ujung koridor langsung berlari mendekat Insani. Tanpa sadar Insani menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Raka dan Raka menyambutnya. Mereka berpelukan.

"Sabarlah, apa yang terjadi?" tanya Rakha.

Kidzania melepaskan dekapannya, "A-a-azim, di-di-diaa—"

Raga membesarkan matanya seraya berkata, "Maksudmu Pak Hanafi tahu hubunganmu dengan Azim, begitu? Sudah berapa kali aku jelaskan kepadamu, Insani,  jangan berhubungan lagi dengan pria itu. Kamu tidak dengar. Ini yang selama ini aku khawatirkan, jangan sampai ayah kamu tahu. Ayah kamu sudah tidak suka lagi dengan Azim dan kamu tahu itu."

"Aku-aku, aku hanya—"

"Hanya, hanya, heh ... kamu akan menggunakan alasan cinta, cinta, cinta, cinta, dan cinta. Tidak ada yang salah dengan cinta aku hanya mencoba mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku. Azim itu kekasihku. Dia sudah berjanji akan pulang dan melamarku. Itu, 'kan alasannya? Iya, 'kan?" Rakha memarahi Insani habis-habisan. Belum selesai.

"Insani, perlu kamu tahu Pak Hanafi itu adalah orang tua aku di Pekanbaru. Kewajibanku terhadap Hanafi sama dengan kewajibanmu terhadap Pak Hanafi. Pak Hanafi sudah menitipkan kamu kepadaku tapi kamu tidak pernah mendengarkankan peringatanku semenjak Azmi pulang ke Indonesia. Heh, hebat!" Rakha menepuk tangan. Insani berisak tangis.

Dokter keluar dari ruang UGD. Insani mendatanginya dengan langkah yang cepat.

"Bagaimana ayah, Dok?"

"Pak Hanafi kritis, tapi dia ingin bertemu dengan kamu. Masuklah," perintah dokter itu, "Saya akan segera kembali."

"Terima kasih, Dok." Insani menyerbu masuk diikuti Rakha.

"Ayah," panggilnya sambil mendekap lengan ayah. Ayah menarik lengan yang dicengkeram Insani. "Ayah?"

"Apa hubungan kamu dengan Azim?" tanyanya dengan suara tegas. Insani bergeming. Air matanya mengalir.

"Insani, Ayah tidak menginginkan air matamu, ayah butuh jawaban dari mulutmu. Kamu tahu 'kan Azim sudah menikah?"

"Dari mana bapak tahu?" potong Rakha.

"Saya punya mata-mata, Rakha. Kamu juga mengapa tidak beri tahu saya?"

"Saya—"

"Ayah," panggil Insani pelan, "Insani dan Azim memang belum putus bukan? Kami hanya melanjutkan hubungan itu, Yah."

"Hubungan apa yang kamu maksud, hah?" bentak ayah.

"Pak, tenang dulu," sambar Rakha sambil mendekat dan memenangkan Hanafi.

"Insani, kamu harus akhirin hubungan kamu dengan Azim. Ayah tidak mau melihat dia lagi. Ayah tidak mau kamu dan dia masih berhubungan lagi. Kamu wanita Insani, jangan terlampau seperti itu kepada laki-laki," imbuhnya ayah lalu berdengus.

"Keluarlah, ayah mau bicara berdua saja dengan Rakha. Kamu telepon pria tak tahu diri itu dan putuskan segera hubungan kalian."

Bibir Insani bergetar, tetapi ia tetap mencoba untuk bicara, "Ta-ta-tapi ayah? Insani khawatir sama keadaan ayah. Insani mau—"

"Kalau kamu khawatir sama ayah harusnya kamu tidak pernah lagi berhubungan dengan pria itu. Keluar ayah bilang," imbuhnya sekali lagi. Insani dengan langkah tak pasti keluar.

Menjemputmu #ODOCtheWWGWhere stories live. Discover now