01 || TL

2.5K 222 20
                                    

Di dalam sebuah kamar bernuansa biru muda, Hilda terdiam mengisi formulir-formulir yang diberikan oleh Gio. Rintikan hujan terdengar dari dalam kamarnya yang hangat. Sesekali matanya melirik ke arah laptop yang sedang memutarkan video-video tentang pendidikan semi militer di youtube.

Hilda sangatlah awam tentang dunia militer, tentu berbanding terbalik dengan Ayuni yang merupakan keponakan dari Komandan Batalyon. Jadilah Hilda harus mengetahui betul apa yang perlu dipersiapkan untuk pendidikan semi militer nantinya, karena ia tidak mau kalah dengan Ayuni.

"Pendidikan semi militer itu ibarat pendidikan tingkat awal dalam militer. Penggemblengan fisiknya nggak terlalu tegas. Pelatihnya masih bisa memberi toleransi pada siswanya. Dan gue kasih tahu nih ke elo, nggak ada tentara yang lemah lembut. Adanya paling penyabar dan nggak terlalu galak. Tapi ada juga yang galak, jadi lo perlu waspada, jangan sampai buat kesalahan. Ingat itu."

Ucapan Puspa, temannya saat SMA, mengenai apa itu pendidikan semi militer membuat Hilda menghela napas berkali-kali. Apa yang dikatakan oleh Puspa pasti hampir keseluruhan benar, pasalnya Puspa adalah anak dari seorang Perwira Angkatan Laut.

"Demi gelar Putri Kampus, gue ikhlas pokoknya ikut pendidikan itu. Pendidikannya pasti ketat banget, lah formulirnya aja berlembar-lembar gini," cerocos Hilda, melirik pada formulir yang sudah selesai diisi olehnya.

Isi formulir tersebut pun bukan main-main, mulai dari surat pernyataan belum menikah, surat kesehatan, persetujuan wali calon siswa, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), surat pernyataan tidak mengikuti organisasi masyarakat, dan fotokopi KTP.

"Kira-kira di sana mau ngapain aja, ya?" Hilda mulai membayangkan apa yang akan dilakukannya selama 1 minggu pendidikan semi militer.

"Apakah di sana hanya kemah biasa?" Hilda mulai bermonolog.

"Atau justru disuruh lari-lari di hutan?"

"Atau parahnya lagi malah diberangkatkan perang? Aduhh Abiii ... Umma ... Hilda mau berangkat peraaang!" pekik Hilda.

Dubrak!

Pintu kamarnya dibuka secara kasar membuat Hilda menoleh terkejut. Menatap adik laki-lakinya yang dengan tidak santai membuka pintu kamarnya.

"Ada apa sih, Dik?!"

Sang adik justru menunjukkan raut wajah cemas. "Siapa yang mau berangkat perang, Kak?"

Hilda menatap heran, mendadak sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Ide untuk menjahili Muhammad Azhar, adik satu-satunya. Kemudian Hilda berakting sedih, dikumpulkannya formulir tersebut menjadi satu.

"Kakak yang mau berangkat perang, Dik." Tangannya berpura-pura menyeka ekor  mata kanannya.

"Halah tipu!" Nyinyir Azhar merasa tidak percaya. "Badan kurus kayak gitu kena dentuman granat aja udah mental, malah sok-sokan mau berangkat perang!"

"Sembarangan. Nih, buktinya." Hilda menunjukkan formulir-formulir yang sudah diisi kepada Azhar. Ditunjukkan sekilas lalu kembali ditarik, takut ketahuan kalau formulir tersebut tentang pendidikan semi militer, bukan tentang perang.

"Baik-baik sama Kakak, nanti kalau Kakak udah megang senjata, kutembak ginjal kau," sungut Hilda.

Azhar termenung beberapa saat. "Yakin Kakak mau berangkat perang? Emang tentara kekurangan pasukan, sampai menyuruh gadis kerempeng kayak Kakak untuk berangkat perang?" Bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah hinaan.

"Kakak nggak kurus!!" Hilda mengambil ancang-ancang untuk mencubit Azhar. Namun, Azhar sudah lebih dahulu keluar dari kamar Hilda seraya berteriak tak jelas.

"Aaaa!! Macan ngamuk!" teriak Azhar.


🌟🌟🌟

Ayuni menuruni tangga menuju lantai satu di mana keluarganya sedang berkumpul. Sebelum benar-benar sampai di lantai satu, Ayuni sudah dapat mendengar obrolan antara ibu dan kakak laki-lakinya. Tentu dapat ditebak apa yang sedang mereka semua obrolkan. Pasti masalah militer.

Mendengar suara tegas yang sangat familiar membuat Ayuni mempercepat langkahnya menuruni tangga. Saat sudah sampai di ujung anak tangga, barulah senyum lebar menghiasi wajah Ayuni kala melihat seorang pria paruh baya yang sedang mengobrol hangat.

"Paman Zul?" panggil Ayuni girang.

Pria tersebut menoleh. "Ayuni? Kemarilah"

"Pamaaaan!!" Ayuni berlari cepat dan langsung menghambur ke dalam pelukan pamannya. Sosok paman yang sudah dianggap seperti ayahnya sendiri. Brigadir Jenderal (Inf) Abdul Fateh Zulkarnain, nama lengkap beserta pangkat milik sang paman. Ayuni biasa memanggilnya dengan sebutan 'Paman Zul.'

Ayuni sudah yatim semenjak ia kelas 6 SD, ayahnya merupakan seorang Komandan Regu Satgas Patroli Perbatasan, telah gugur dalam tugasnya. Kehadiran paman Zul membuat duka Ayuni sedikit mereda.

"Kok Paman lama banget nggak main ke sini? Aku rindu tau." Ayuni memanyunkan bibirnya.

Paman Zul tersenyum. "Maaf, Nak. Jabatan baru yang Paman emban membuat tanggung jawab Paman menjadi bertambah. Jadi, tidak ada waktu buat main ke sini. Harusnya kamu dong yang main ke rumah Paman." Paman Zul melepas pelukan, menatap Ayuni dengan senyum yang menghangatkan.

"Aku sibuk kuliah, Paman. Oh ya, Paman tahu nggak kalau aku mau ikut pendidikan semi militer?" tanya Ayuni, menampilkan rentetan giginya.

"Yang benar?" Bukan hanya paman Zul saja yang terkejut, melainkan ibu dan kakak laki-lakinya juga ikut terkejut.

Pasalnya semenjak wafatnya sang ayah, Ayuni menjadi menghindari hal-hal yang berbau militer. Sedikit trauma.

"Iya, benar." Ayuni mengangguk cepat. "Aku udah dapat formulirnya, dikasih sama Presma."

"Alhamdulillah kalau gitu. Anak buah Paman juga nanti akan ada yang jadi pelatih loh di pendidikan itu. Intinya kamu yang semangat. Kalau ada apa-apa ataupun butuh apa-apa, langsung saja kasih tahu ke tentara yang dari Batalyon. Oke?"

"Tapi kan, mereka nggak kenal aku."

Paman Zul membelai rambut Ayuni. "Kenal, nanti Paman kasih tahu bahwa ada keponakan Paman yang tersayang sedang ikut pendidikan semi militer. Namun, kalau tidak kuat, jangan dipaksain, ya?"

Ayuni membusungkan badan. "Siap, Ndan!" jawab Ayuni tegas, menirukan gaya tentara.

Sedangkan ibunda Ayuni sudah tersenyum haru memandang anak gadis bungsunya. Anak gadis yang sudah lama terkena trauma psikis, kini trauma tersebut sepertinya sudah menghilang perlahan.

Sorot mata sang ibunda melirik pada foto berfigura yang tertempel di dinding. Memandang foto pria berpakaian dinas upcara (PDU) yang menyunggingkan seulas senyuman tegas.

"Anakmu sudah tidak trauma lagi, Mas."





........
Bahas ttg keluarganya dulu. Habis itu capcus deh.

Teruntukmu Letnan [TERBIT]Where stories live. Discover now