37| Melibatkan Rasa Lainnya

Start from the beginning
                                    

"Aku tidak keberatan, atau malah mungkin kau yang keberatan?" Ann bertanya balik, pipinya bersemu merah muda.

Dimas terkekeh, "mana ada aku keberatan? Aku malah senang."

Hari itu Ann percaya bahwa ia adalah satu-satunya Gadis yang Dimas perlakukan demikian. Hari itu Ann percaya bahwa Dimas serius menemaninya. Hari itu Ann percaya bahwa ia benar-benar jatuh pada dekapan Dimas dan segala kerumitannya.

Dan hari itu juga, semesta kembali bermain-main hanya untuk sekedar mengetes ketabahan diri Ann.

"Namaku Dimas," ujar Dimas tiba-tiba saat jaln mereka sengaja melambat, sengaja mengulur waktu.

"Aku tahu, Dimas, kenapa memperkenalkan diri lagi?" Ann kebingungan sembari remat tali tas punggungnya.

"Aku hanya kau tahu namaku, lalu hanya menyebut namaku dalam hari-harimu. Mengerti?'

"Jangan bercanda." Ann merona sendiri mendengarnya.

"Mau jadi kekasihku tidak?" Dimas lagi-lagi sekenanya ajukan pertanyaan itu.

Ia pikir pertanyaan itu mudah, ia pikir pertanyaan itu gurauan. Namun nyatanya hati Ann berantakan.

"Kita baru dekat tadi pagi Dimas," tolak Ann halus.

"Memang kenapa? Bukankah cinta tak memandang waktu? Ara bilang begitu padaku."

"Cinta memang tak membutuhkan waktu, namun butuh waktu untuk mengenal satu sama lain." Jawab Ann, seakan paling tahu hukum waktu.

"Bailah, minggu depan. Setuju?"

"Hah?"

"Rumahmu terhalang dua rumah lagi kan? Aku sampai sini saja ya? Jangan lupa makan dan minum, lalu tersenyum, aku suka senyummu."

Ann diam mematung, kaku, coba pungut kesadrannya yang baru kembali saat Dimas sudah jauh melangkah kembali. Ia yakin ia telah jatuh, namun tak ingin mengakuinya sekarang. 

Ada sebuah rasa lainnya yang terlibat, yang ikut terkurung dalam luka perih masa lalu. Ada sebuah jiwa yang baru saja masuk, tanpa tahu apa-apa dan hannya bisa tersenyum malu. Senyuman itu memang awal yang baik bukan? Namun tangisan adalah hal yang selalu waktu janjikan.


----


Ann risih, terlebih saat Vio selalu menatap nyalang ke arahnya saat ia sedang mengobrol ringan dengan Dimas dan Teo di sekolah, tidak dengan Ara- gadis itu terlalu jauh untuk diraih.

"Apa aku berbuat salah pada Vio?" Gumam Ann yang mana ditangkap jelas oleh Teo.

Teo menoleh ke arah Vio, Ica dan Kea yang kini berkumpul seperti biasa lalu curi-curi pandang ke arah mereka. Hela napas keluar dari bibirnya, ia paham betul apa yang terjadi disini.

Penyesalan yang datang saat semuanya telah perlahan pulih.

"Nanti apa kita akan pulang bersama lagi?" Tanya Dimas, melepas lamunan Ann yang memikirkan apa salahnya pada Vio.

Ann menggeleng, "Aku dijemput hari ini." 

Dimas ahirnya anggukan kepala pasrah, lalu ajak Teo untuk beli sebotol mineral untuk hilangan haus di siang hari. Teo tak mau sahabatnya yang sedang mencoba untuk sembuh kembali harus menempuh. Menempuh sebuah pilihan antara harus kembali atau tidak.

"Kak Teo, temanku yang itu ingin meminta nomormu, apa boleh?" Seorang adik kelas dengan kuciran rambut tinggi itu menghalangi jalan keduanya.

Teo menengok ke arah Gadis yang ditunjuk, berdiri di sebrang koridor dengan wajah tertunduk. 

"Tentu saja."

Dimas mendelik mendengar jawaban Teo, yang katanya setia pada satu akhirnya runtuh juga. Apa Dimas bilang, satu itu tak cukup. 

"Terimakasih, kak."

"Itu nomor aslimu?" Tanya Dimas saat sang adik kelas sudah melenggang pergi.

"Tentu saja." Jawab Teo denga santai. 

"Omong kosong mengenai kesetiaanmu pada Ara."


Dan pada hari itu, ada perasaan-perasaan baru yang masuk terlibat pada lingkaran permainan hati yang diciptakan semesta dan didukung dunia. Ada hati-hati baru yang harus bersiap patah sewaktu-waktu jika senja menginginkannya.


----


"Ada sebuah hati yang harus dipatahkan demi satu hati lainnya yang ingin diselamatkan."

~

~

~

~


DIMAS -selesaiWhere stories live. Discover now