Prolog

83 10 6
                                    

"MAU LO APA, BANGSAT?!!!" Teriak cowok tertua itu dengan emosinya yang tak terkontrol. Sementara yang ditanya hanya diam.

Bugh

"JAWAB ANJ*NG" ia semakin tersulut emosi.

"LO PUNYA MULUT NGGAK?!!"

Bugh

"Jangan bawa-bawa adek gue ke masalah lo" tambah salah satu cowok yang berusaha menahan emosi kakaknya.

"Gue sayang dia. Gue gak mungkin bawa dia ke masalah gue" jawaban yang ditunggu, namun membuat ketiga cowok lainnya yang berada disitu merasa tak puas. Mulutnya berdarah, sedikit sobek.

"Masih mau bela diri lo?"

"Jauhin adek gue!" Ujar salah satu dari mereka dan mereka pun beranjak dari sana.

"Brengsek"

***

Di tengah keramaian pagi itu, Caca memandang malas ke arah depan mobilnya. Sopir pribadinya terus menekan tombol klakson, berusaha untuk melewati kemacetan ini. Caca merutuki dirinya sendiri yang begadang semalaman karena menonton drama korea yang disukainya. Kalau sudah seru, seorang Caca bakalan rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan sepaket drama apapun. Dan beginilah hasilnya, ia harus terlambat karena ulahnya sendiri.

"Pak Maman" panggil Caca pelan. Namun, sang sopir itu tak menyahutinya.

"Pak Mamannnnn" panggilnya dengan lebih keras.

"Eh, ia non" Pak Maman gelagapan.

"Masih lama ya?" Pak Maman mengangguk , membuat Caca menghela nafas berat. Ia menyesal menolak tawaran kedua kakaknya untuk pergi ke sekolah bersama. Tentunya menggunakan motor-motor kesayangan mereka yang mampu menembus kemacetan seperti ini. Namun, karena  insiden seminggu yang lalu Caca mendiami ketiga kakakknya karena kejahilan mereka pada pacarnya. Namun ia tak tahu, kejahilan mereka bukan sekedar kejahilan. Alhasil ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan terlambat.

Tiba-tiba ada yang mengetuk kaca jendela mobil, mengageti Caca dan Pak Maman yang sedang terdiam. Caca pun menurunkan kaca dan melihat cowok yang mendiaminya seminggu ini.

"Keluar, naik" ujar cowok itu dingin.

"Eh, ada den Alfa, mau berangkat bareng non Caca?" tanya Pak Maman sambil tersenyum. Alfa pun hanya mengangguk.

Dengan takut, Caca mengambil tas dan handphonenya, keluar dari mobil dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Maman. Ia pun menerima helm berwarna putih dari tangan Alfa dan menaiki motor sport yang amat tinggi itu. Untungnya, ia memiliki tinggi yang pas-pasan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, kedua sejoli itu menembus kemacetan dengan kecepatan motor yang super tinggi membuat Caca mau tak mau harus memeluk pinggang ramping Alfa. Sungguh ia ingin hilang saja dari muka bumi sekarang juga.

Lima menit lagi gerbang keramat bagi siswa-siswa SMA Nusantara itu akan segera ditutup. Motor sport berwarna hitam itu sudah terparkir rapi di parkiran sekolah. Caca menghela napasnya pelan, memegang dadanya dengan jantung yang berdegup kencang tak karuan. Ia menarik ujung jaket milik Alfa saat cowok itu hendak pergi ke lapangan untuk mengikuti upacara.

"Kamu masih marah?" tanya Caca dengan pelan dan menunduk. Kedua matanya memanas. Ia sangat takut dengan cowok dihadapannya ini kalau sudah marah.

"Enggak" jawab Alfa datar.

Cowok itu pun melangkahkan kakinya menuju lapangan. Meninggalkan Caca yang sudah menangis dalam diam. Gadis itu berjalan pelan menuju kelasnya sambil sesenggukan.

"Lo kenapa Ca?" tanya Airin, salah satu sahabat Caca. Ia merasa heran melihat sahabatnya yang datang dengan mata merah dan hidung berair akibat menangis. Ia tau kebiasaan gadis itu, selalu menangis dalam diam dan selalu berpura-pura untuk baik-baik saja.

My Brother's EnemyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora