Kepulangan Brian

35 4 0
                                    

Di sebuah pondok pesantren berlantai tiga, terlihat beberapa pria sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di sebuah ruangan. Alunan suara yang merdu itu mampu membuat siapa pun yang mendengarnya terlena. Salah satu pria yang duduk di depan altar tampak menikmati membaca ayat-ayat tersebut.

Setelah acara itu selesai, semua orang tampak bersalaman satu sama lain dan juga berpamitan kepada Ustadz Yusuf untuk meninggalkan ruangan tersebut. Tersisa seorang pria yang berusia dua puluh lima tahunan sedang merapikan beberapa Al-Qur'an lalu mengembalikannya ke tempat semula.

"Brian," panggil Ustadz Yusuf.

"Iya, Pak Ustadz," sahutnya.

"Selamat atas kelulusanmu, kini kamu bisa pulang ke rumah dan menemui keluargamu," ujar Ustadz Yusuf.

"Terima kasih, Pak Ustadz. Atas bimbingannya selama ini," sahut Brian.

"Ingat pesan yang pernah kusampaikan, kekuatan yang kamu miliki adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Janganlah kamu gunakan untuk hal-hal yang tidak baik karena kekuatan itu bisa melukai dirimu sendiri, mengerti," titah Ustadz Yusuf sembari menepuk bahu Brian.

"Saya mengerti, Pak Ustadz. Saya akan selalu mengingat pesan Anda," sahutnya seraya tersenyum.

"Sampaikan salamku pada ibumu. Semoga beliau cepat sembuh, ya?" ujar Ustadz Yusuf.

"Terima kasih, Pak Ustadz. Mari," sahut Brian berpamitan, kemudian meninggalkan ruangan tersebut.

Brian sedang mengepaki barang-barangnya ke dalam tas, ia belum pernah meninggalkan pondok pesantren itu sejak kecil. Biasanya Vita dan ibunya yang menjenguk Brian sembari membawa beberapa makanan. Namun, setelah Sutinah jatuh sakit. Mereka berdua tak pernah datang lagi. Kini setelah Brian lulus dan hafiz Al-Qur'an dari pesantren itu, ia bisa kembali ke rumahnya sendiri.

Brian menatap gedung pesantren yang sudah ia tinggali selama dua puluh tahun itu. Rasanya begitu berat meninggalkan tempat tersebut. Namun, ia harus kembali dan menjadi seorang anak yang berbakti.

Brian bergegas naik angkutan umum untuk menuju ke desa tempat ia tinggal. Di tengah perjalanan, angkutan umum itu berhenti untuk menurunkan penumpang, kemudian penumpang lain akan naik untuk mengisi bangku yang kosong. Seorang wanita muda tidak tahu bahwa bangku di angkutan umum itu sudah terisi semua.

"Maaf, Mbak. Udah penuh bangkunya. Ikut angkot selanjutnya, ya?" pinta sopir angkot itu.

"Tapi, Pak. Saya harus segera sampai di rumah. Ada hal yang sangat mendesak," pinta wanita itu tetap memaksa.

"Maaf, Mbak. Tolong turun, ya! Jangan menghambat lalu-lintas di sini!" bentak sopir itu dengan nada suara sedikit tinggi.

Wanita muda itu tampak sangat sedih, wajahnya lesu lantaran harus menunggu mobil angkot yang entah kapan datangnya. Brian akhirnya tak tega lalu turun, kemudian menghampiri wanita cantik itu.

"Mbak, masuk aja. Saya lupa kalau rumah saya di sekitar sini," ujar Brian beralasan sembari menunjukkan senyum ala iklan Pepsodent.

"Terima kasih, Mas. Maaf karena sudah merepotkan," sahut wanita itu dengan senyum di bibirnya.

Wajah wanita itu mulai berseri kembali dan menunjukkan lesung pipitnya di kedua sisi, Brian terus menatapnya hingga mobil angkot itu berlalu pergi.

"Cantiknya ... bidadari aja lewat," gumam pria itu sambil menghela napas, kemudian langsung tersentak.

"Alamak, di mana ini?" gerutunya melihat sekeliling karena tak mengenal tempat yang didatanginya.

Wanita bernama Dinda itu duduk di tempat Brian tadi, ia melihat pria itu dari kejauhan sembari tersenyum malu.

***

Lilis dan Vita sedang menghidangkan beberapa piring lauk di atas meja, sedangkan Dion dan Lily sedari tadi sudah duduk menunggu di meja makan.

"Kenapa Brian belum datang juga? Bukannya dari pagi dia sudah keluar pesantren, ya?" gerutu Dion dengan wajah yang garang.

"Iya, Mas. Tadi sempat telepon, katanya macet. Mungkin sebentar lagi dia datang," jawab Vita.

"Assalamu'alaikum." Suara Brian memberi salam di depan rumah.

"Wa'alaikumsalam," sahut mereka semua dari dalam rumah.

Baru saja pria itu ingin melangkahkan kaki, tiba-tiba angin dingin langsung menerpa tubuhnya. Seakan ada sesuatu yang sudah menyambut Brian untuk datang.

"Kok, malah bengong? Ayo masuk! Kita udah nungguin dari tadi, nih," pekik Dion dan mengagetkan lamunan Brian.

"Iya, Mas. Aku ganti baju dulu sebentar," sahut Brian lalu segera masuk ke kamarnya.

Saat melewati kamar ibunya, ia seperti melihat sesosok wanita berdiri tegak di samping jendela. Brian kemudian berbalik dan melihat lagi. Namun, sosok itu sudah lenyap.

"Siapa itu tadi?" gumamnya sembari melangkah masuk ke kamar.

Brian melepas kemejanya, terlihatlah luka bekas gigitan di punggung. Ia berkaca sembari mengingat masa lalu. Ustadz Yusuf sudah memberitahukan bahwa luka yang ia dapatkan itu dari gigitan Sundel Bolong. Saat Brian masih kecil, ia sering jadi incaran makhluk halus lantaran tanda gigitan yang melekat di punggungnya itu.

Namun, sekarang ia sudah dewasa dan bisa melawan makhluk-makhluk yang selalu mengganggunya. Ustadz Yusuf sudah mengajarkan beberapa doa penangkal setan dan bagaimana cara mengusir mereka, kini Brian tidak perlu takut lagi jika harus berhadapan dengan mereka. Ustadz Yusuf juga berkata, bahwa kedua orang tuanya mati di tangan Sundel Bolong tanpa ia tahu apa penyebabnya.

"Kalau bukan aku yang mendatangimu, pasti kamulah yang akan datang," gumam pria itu di depan cermin.

"Mas Ian! Lama banget, sih! Aku udah laper tau!" teriak Vita dan membuyarkan lamunannya.

"Iya! Ini turun," sahut Brian dan bergegas turun menemui mereka semua.

Di meja makan mereka saling bertegur sapa.

"Ini, Lily yang dulu bayi itu, ya? Kok, udah gede sekarang. Imut banget ... pipinya kayak bakpao," celetuk Brian sembari mencubit pipi Lily yang bulat.

"Haduh, Kak Ian. Sakit tau," rintih gadis cilik itu menangkis tangan Brian yang jail.

"Ih, ngambek. Kak Ian punya ini, loh," rayunya sembari mengeluarkan sekaleng cokelat dari balik badan.

"Ah, mau cokelat," rengek Lily dengan mata berkaca-kaca.

"Cium dulu dong," pinta Brian sambil menyodorkan pipinya.

Tak menunggu lama, Lily langsung mengecup pipi pria yang menjadi pamannya itu.

"Anak pintar. Nih, buat Lily," ujar Brian.

"Makasih, Kak Ian," sahut gadis cilik itu seraya gembira.

"Dasar, tukang rayu," celetuk Vita sembari memonyongkan bibirnya.

"Biarin."

Mereka semua ikut tertawa. Setelah makan malam, Brian menemui ibunya di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang sembari memijat-mijat kaki ibunya yang kini sudah tidak bisa lagi untuk berjalan, Brian merasa sedih karena belum bisa membahagiakan ibunya.

Sutinah beranjak duduk, kemudian Brian memberikan minum pada wanita tua itu.

"Ini Brian, Bu. Aku sudah pulang seperti permintaan Ibu. Cepat sembuh, ya? Brian pengen ngajak Ibu jalan-jalan seperti dulu," isak pria itu dan bersimpuh di kaki ibunya.

Sutinah mencoba membelai rambut Brian, pria yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Namun, tiba-tiba Sutinah seperti sesak napas, ia merasa ketakutan.

"Bu, kenapa ini? Ada apa, Bu?" tanya Brian ikut cemas.

Sutinah melihat sosok Sundel Bolong yang merangkak ke atas langit-langit kamarnya, beberapa usus sudah menjuntai keluar dari perut sosok tersebut. Netra Sutinah tak lepas melihat ke sosok itu, Brian berbalik dan melihat ke atap kamar. Namun, ia tak melihat apa pun.

Diteror Sundel Bolong ( Sudah Terbit )Where stories live. Discover now