02. Coklat Hazel

Mulai dari awal
                                    

"Loh? Kau belum tahu? Tahun ini tidak ada seleksi. Jadi dipilih berdasarkan penilaian OBJEKTIF dari dosen."

Penekanan kata objektif yang dilakukan Mijin membuatku mengerti kenapa –jika sampai terjadi- aku dipilih untuk pergi kesana.

Walaupun aku anak yang problematic di kampus, tapi nilai-nilaiku tidak bisa dianggap remeh. Mulai dari quiz, ujian tertulis sampai praktikum, aku melakukan semuanya dengan baik. Sampai-sampai sudah berulang kali beberapa dosen memintaku untuk bergabung dalam klub musik independen yang mereka bangun.

Aku tentu saja menolak. Bergabung dalam sebuah organisasi bukanlah keahilanku.

"Yah, biarlah. Toh pada akhirnya aku akan tetap menolak."

"Kau gila ya?" sinis Mijin.

"Apanya yang gila? Kau tahu sendiri kan aku tidak pernah tertarik ikut acara semacam itu di kampus? Peraturannya merepotkan."

Kali ini Mijin mendecak, "Hei, kali ini aku serius ingin bertanya padamu. Kalau kau begini terus, bagaimana caranya kau akan mengajukan tugas akhir nanti?"

"Apanya yang begini terus?" Tanyaku tak mengerti, "Aduh, tolong jangan buat otakku berpikir keras. Nanti berasap."

"Kau belum bergabung dalam klub apapun kan?"

Aku mengangguk menanggapi pertanyaannya, "Terus?"

"Oh, Tuhan. Ha Seojung! Bagaimana caranya kau bisa mengajukan tugas akhir kalau kau belum bergabung dalam klub mana pun?"

Aku terdiam ketika Mijin mengingatkannya akan hal itu.

Di kampus ini memang ada peraturan bahwa setiap mahasiswa harus bergabung dalam satu klub dan berperan aktif disana untuk mendapatkan approve pengajuan tugas akhir. Sepertinya aku terlalu banyak bersenang-senang sampai lupa tentang hal sederhana ini. Padahal tahun depan sudah waktunya aku mengajukan proposalku.

"Entahlah. Nanti kupikirkan lagi."

"Sekarang, Seojung! Aku yakin seribu persen kau akan melupakan tentang hal ini ketika melangkah keluar kelas."

Aku melirikya tajam, "Apa aku seburuk itu?"

"Eoh. Kau seburuk itu." jawabnya tanpa ragu.

Sialan.

"Aku ke ruang musik duluan."

Mijin langsung membalikan badannya dan menatapku penasaran, "Kau tidak mau makan? Bukannya menu makan siang hari ini favoritmu?"

Kepalaku mengangguk, "Tapi aku sedang tidak mood untuk makan. Kau makan saja bersama yang lain. Lagipula aku masih harus menyelesaikan partitur yang diberikan Ms. Jane."

"Kau serius?"

"Tentang?"

"Tidak mood makan."

Sekali lagi aku mengangguk, "Memangnya apa yang salah dari tidak mood untuk makan? Semua orang pasti pernah mengalaminya, kan?"

"Kecuali dirimu, bodoh! Kau bahkan mengambil porsi makan Gongsuu ketika bermasalah dengan Ayahmu. Kali ini masalah apa yang membuatmu sampai tidak nafsu makan sama sekali?" Jelas Mijin begitu panjang lebar dengan ekspresinya yang membuatku sedikit terkekeh. Ia paling lucu jika sedang menjelaskan sesuatu.

"Aku akan cerita nanti," Aku bangkit dari tempat dudukku dan bergerak memasang earphone, "Aku tunggu di ruang musik, ya."

Kakiku melangkah menelusuri koridor. Entahlah, rasanya menceritakan ini pada Mijin akan menjadi sesuatu yang sulit karena sejarah panjang yang keluargaku miliki. Yang gadis itu tahu, hanyalah Ayahku orang yang sangat keras, Ibuku adalah penyanyi hebat, dan kakak laki-lakiku adalah aktor terkenal. Tidak lebih dari itu.

Dan ruang musik adalah tempat pelarianku jika segala sesuatu sedang teras rumit. Apalagi mengenai hal yang Kak Seojun tawarkan kemarin.

Namun langkahku terhenti di depan pintu ketika mendengar suara orang bernyanyi.

Penasaran, aku mengintip sedikit dari kaca bening yang ada disana. Seorang pria yang tidak kukenali sama sekali di jurusan musik sedang bernyanyi lagu Lost Stars miliki Adam Levine dengan iringan musik dari pengeras suara.

Ia begitu menikmati lagunya. Aku jadi tidak tega untuk menginterupsi kegiatannya.

Jadi yang kulakukan hanya menatap dari balik pintu. Ikut menikmati penampilannya sampai habis.

Kuputuskan untuk masuk ke ruangan tersebut ketika ia sudah mengakhiri lagu. Sebelum dia memulai lagu lain, tentu saja.

"Permisi."

Aneh, tapi nyata ketika aku harus mengatakan permisi ketika masuk ke ruangan jurusanku sendiri.

Pria tadi berbalik. Tatapannya begitu terkejut ketika melihatku, "K-kau siapa? Se-sejak kapan kau ada disini?"

Aku sedikit terkekeh melihat responnya. Kutunjukan buku partiturku lalu berkata, "Aku yang seharusnya bertanya begitu kan? Lagipula aku baru saja masuk. Santai saja."

"Baiklah. Aku pergi."

'Tunggu." Cegahku ketika ia sudah melewatiku dan hendak keluar dari ruangan.

Ia berhenti lalu berbalik. Membuatku berjalan kembali mendekatinya. Memaksaku untuk menatap setiap ukiran wajah dan warna matanya yang hazel kecoklatan.

Dia ... tampan.

"Siapa namamu? Kau bukan anak jurusan musik kan?"

Ia awalnya terdiam. Tak lama ia bertanya, "Harus kujawab?"

"Harus. Setidaknya aku harus tahu siapa yang memakai ruangan ini sebelum kelas kami."

Helaan napas yang berat terdengar darinya, "Kei. Sastra Korea 17." Ucapnya begitu cepat dan setelah itu langsung berjala keluar dari ruangan.

Hm, namanya Kei.

Tunggu, betulan hanya Kei saja?

- 02. Cokelat Hazel end -

masih belum.
yuk dilanjut lagi✨

follow on instagram
@chasingthesunproject

사랑해!

Chasing the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang