Dua

37 11 16
                                    

Sepasang kekasih yang terlihat membicarakan banyak hal, mereka begitu serasi.

Dua gelas vanilla latte ikut menemani obrolan mereka. Sesekali tawanya terdengar pecah, membuat beberapa sorot mata mengarah pada keduanya.

Tangan yang digenggam kuat seakan menjadi magnet kenyamanan. Tatapan yang menghangat membuat ketenangan semakin mengerat.

“Berhenti memandangku seperti itu,” protes Clarissa. Ia mulai tak nyaman dengan tatapan kekasihnya. Namun reaksi Daniel semakin menjadi, ia malah terus memperhatikan gerak gerik kekasihnya itu.

“Daniel, aku malu.” Clarissa menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tawa Daniel semakin menggelegar, ia mengecup punggung tangan Clarissa.

“Aku suka memandang dirimu, kau sangatlah cantik.” Ucapan itu membuat Clarissa tak bisa berkutik lagi. Pipinya mulai merona, tingkahnya semakin menggemaskan.

“Sudahlah jangan terus menggoda.” Clarissa mengakhiri aksi kekasihnya. Daniel hanya mengangguk dan tersenyum jail.

Clarissa gadis blaster Indonesia dan Belanda terlihat begitu cantik. Rambut yang selalu diikat asal, mata yang berwarna coklat memberikan kesan tersendiri. Siapa yang tidak jatuh hati melihat dirinya. Selain cantik, ia pun friendly.

Keduanya terhanyut dalam suasana senja yang begitu indah. Clarissa tidak ingin melepas suasana ini sendiri saja. Daniel kekasihnya selalu setia menemani Clarissa untuk menikmati indahnya senja.

Daniel dan Clarissa seperti telah dijodohkan bumi. Keduanya sama-sama memiliki kesamaan. Apalagi Daniel tidak kalah tampan dari pria Inggris lainnya. Banyak yang terlihat iri dengan keharmonisan hubungan mereka. Cekcok kecil pun rasanya tidak pernah terdengar.

“Aku sangat mencintaimu,” ucap Daniel yang terus menggenggam erat kedua tangan kekasihnya.

***

Sudah hampir dua jam Kenzo menunggu kedatangan Aleta. Ia sudah tidak nyaman dengan posisi duduknya, sesekali memandang ponsel dengan harapan ada balasan pesan dari Aleta. Tapi hasilnya sama, tidak ada pesan apa pun.

Apa harus seperti ini Aleta membalas kesalahpahaman tempo lalu? Apa ini tidak cukup egois? Kenzo mulai frustrasi dengan tingkah luar biasa kekasihnya.

“Belum keluar juga?” Radit yang menyodorkan minuman dan duduk asal di samping Kenzo.

“Lu udah ngomong mau ke sini? Maksudnya Aleta udah tahu lu ada di sini?” 

“Gue udah kirim WhatsApp, tapi enggak dibaca sama sekali. Ya sudah gue inisiatif ke sini. Gue cuman mau mastiin kalau dia baik-baik saja.” Kenzo terlihat gelisah, ia paham betul jika kedatangannya tanpa kesepakatan dari Aleta, sudah pasti Aleta tidak mau menemuinya.

Radit terlihat bingung. Sikap Aleta memang kadang berlebihan. Ia tidak mau membuka telinga sekadar mendengarkan saran, atau membuka mata untuk melihat siapa yang sudah ia sakiti.

“Gue coba susul, ya.”

“Gak usah, Dit. Gue masih bisa nunggu.” Jawaban itu membuat Radit mematung. Kenapa temannya ini bisa ekstra sabar menghadapi sikap ajaib Aleta? Dirinya saja sudah muak dengan sikap egoisnya yang hingga sampai sekarang belum ada obat mujarab untuk meluluhkannya.

“Ya udah. Zo, sumpah gue malu banget sama lu, atas sikap Aleta. Kalau boleh saran mending lu udahan. Gue gak mau dia terus menyiksa lu.” Radit tahu, tidak ada cinta di sorot mata Aleta. Aleta hanya sebatas kasihan saja dan itu tidak benar. Aleta mengorbankan perasaan Kenzo.

“Selama gue masih kuat, gue akan terus pertahankannya,” jawab Kenzo. Bagi Kenzo Aleta ialah dunia terindahnya. Ya, meskipun cinta yang ia rajut tidak sempurna.

Radit hanya bisa pasrah saja. Ia cukup menjadi penonton dan sesekali bertindak jauh jika di salah satunya mulai berbelok arah. Radit hanya bisa berharap, Aleta bisa membuka pintu hatinya dan mencintai Kenzo seperti Kenzo mencintai Aleta.

“Zo, gak apa-apa gue tinggal? Nyokap minta jemput.”

“Santai aja. Hati-hati, Bro.” Radit mengacungkan jempolnya dan berlalu mengambil mobil.

Kini Kenzo harus berjuang kembali. Ia terus mengirimkan pesan pada Aleta dan tentunya dengan harapan Aleta mau keluar dari kamarnya.

Tak selang lama dari keberangkatan Radit, pintu kamar Aleta terbuka. Ia berjalan ke arah Kenzo dengan wajah yang tidak bersahabat. Rambut yang disanggul asal dan piyama masih terpasang kusut. Jika ditebak Aleta belum membersihkan tubuhnya. Aleta duduk tepat hadapan Kenzo. Tatapannya masih fokus pada ponselnya.

“Ada apa?” Aleta langsung to the point’.

“Kamu baik-baik saja, kan, Al?” Kenzo yang mengalihkan pertanyaan Aleta. Kenzo berusaha membuat Aleta nyaman jika berbicara dengannya.

“Aku tak suka basa-basi. Ada apa?” Tatapan Aleta semakin dalam.

“Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, Al.” Aleta membuang napas kasar. Ia sudah terlalu muak dengan pertanyaan dan pernyataan itu. Apa tidak ada lagi alasan lain?

“Kau tahu? Aku sangat sibuk. Aku lusa harus berangkat ke Inggris. Senggaknya jangan ganggu aku dulu. Aku perlu waktu sendiri untuk mempersiapkan segala halnya.” Kenzo terkejut. Inggris? Kenapa Aleta tidak pernah bicara kalau dirinya akan berangkat ke Inggris? Lalu seberapa lama ia tinggal di sana?

“Lusa? Kenapa tidak pernah cerita?” Aleta membuang tatapannya.

“Apa harus semua hal aku ceritakan?” pertanyaan yang terlontar dari mulut Aleta membuat Kenzo tak habis pikir. Sebenarnya Kenzo ini siapa? Orang lain? Atau kekasihnya? Kenapa tidak ada sedikit saja ketulusan yang ia perlihatkan.

Kenzo berusaha mencerna pertanyaan itu. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan Aleta. Kenzo mengalah dan tidak menjawab lagi.

“Aku mau istirahat. Kau bisa pulang.” Aleta beranjak dari duduknya. Ia membiarkan Kenzo terdiam dengan segala pemikirannya. Apa harus Kenzo melakukan apa yang Radit sarankan? Meninggalkan Aleta dan memulai cinta dengan gadis lain?

Kenzo menatap kepergian Aleta yang tanpa beban. Kenapa ia begitu mencintai gadis egois itu? Kenapa ia menaruhkan cinta yang salah? Tapi apa bisa ia hidup tanpa dunia Aleta?

Kenzo menyandarkan tubuhnya. Sesekali tangannya memijit pelan pelipis yang dirasa sedikit pusing. Matanya terpejam dengan suara Aleta yang terus terngiang. Kenzo butuh penjelasan, Kenzo butuh kepastian, karena mencintai sendiri itu tidaklah benar.

Kenzo beranjak dari duduknya dan pulang tanpa pamit apa pun. Luka yang telah digoreskan kekasihnya cukup membekas. Ia tidak ingin berbasa-basi lagi. Cukup satu kali dan menyakitkan.

Di sisi lain, Aleta ikut terdiam. Ia memandang kepulangan Kenzo dari jendela kamarnya. Kenzo terlihat marah dan kecewa tapi ... tidak membuat Aleta iba sedikit saja.

Kenapa kau datang menawarkan cinta yang salah, Kenzo. Aleta membatin.

Setelah Kenzo keluar dari gerbang rumah, Aleta menutup kembali tirai jendela kamarnya. Entah kenapa semakin hari hatinya semakin enggan menerima kehadiran Kenzo. Tapi, Aleta tidak bisa memutuskan begitu saja. Aleta hanya ingin Kenzo yang mengakhiri hubungan ini dan bukan Aleta.

Apa keinginan itu terdengar egois? Tapi bagi Aleta, Kenzo pun tak kalah egois. Dia memaksa mencintai Aleta yang sudah jelas tidak mencintainya. Kenzo menabrak takdir yang telah digariskan dan bodohnya Aleta mengikuti takdir yang salah itu.

Aleta tak kalah frustrasi. Ia ingin meneriaki Kenzo dan memaki-makinya. Kenapa pria selalu bodoh dalam mencintai?

***
Akhirnya post juga😁
Jangan lupa saran dan kritiknya, ya.
Semoga gak ikut anu wkwk~

AletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang