Melihat itu Mikasa kembali tersenyum lebar dan duduk bersama mainannya.

"Ok, senpai, mari kita lanjut. Jadi Mikasa tadi bilang 'Phessshh' sama 'Kamal'. Itu maksudnya apa coba? Kamal mau pipis? Tapi di keluarga ini gak ada yang namanya Kamal, Suga- senpai!" Jelas Hinata beruntun dalam satu nafas.

Suga menghela nafas dengan penjelasan Hinata yang panjang dan tanpa jeda. Namun untungnya ia paham.

"Dia itu minta pesawat di kamar. Coba cari di sekitar sana."

"Ah... Souka.. Kukira apa, hehe. Yosh! Terima kasih senpai!"

"Oke! Jaa, mata!" Telpon itupun ditutup Suga.

Kini Hinata memindai kamar dengan tema voli itu dari sudut ke sudut demi sebuah mainan pesawat yang bahkan ia tak tau bentuknya.

Sudah mencari baik-baik bahkan tak melewatkan sedikit celah pun namun nihil, ia tak mendapat apapun.

"Hhh.." Hinata pun membaringkan tubuhnya di atas karpet, menghadap atas. "Eh?" Dua buah pesawat kertas tergantung di atas sana.

"Apa ini maksud Mikasa?" Ia pun meraih salah satunya.

Pesawat itu tak polos. Ia pun membukanya.

Sebuah gambar abstrak terdapat disana. Namun begitu, ia dapat mengetahui bahwa gambar itu merupakan potret dirinya, (y/n), dan Mikasa dalam gambaran tangan mungil Mikasa.

Tak berhenti disitu, kini Hinata penasaran dengan isi pesawat lainnya karena pesawat pertama sudah bertinta. Ia pun mengambil dan membuka lipatan pesawat itu.

Benar saja. Di atas surat itu terdapat tulisan dengan tinta biru bertuliskan,

'Pertemuanku dengannya dan menemukan mimpi baru, aku tidak pernah menyesalinya.'

Hati Hinata rasanya sesak membaca kalimat yang jelas ditulis oleh istrinya. Andai saja waktu dapat di ulang, ia tak akan menolak ajakan (y/n) untuk menonton tim wanita yang akan menjadi lawannya di final nanti. Jika ia ada disana, mungkin tabrakan itu tak akan terjadi dan (y/n) tak harus merelakan mimpinya.

Mungkin di depan orang lain (y/n) akan tersenyum seakan keharusan untuk berhenti main voli sama sekali tak mengganggunya. Tapi di depan Hinata, ia menangis dalam pelukannya sedangkan pria itu terus mengucap maaf.

Namun nyatanya, sekarang tetaplah sekarang dan ia tak dapat mengulang waktu untuk mengubah takdir istrinya.

Diliriknya Mikasa yang ternyata sudah tertidur lelap. Hinata pun mengangkat bayi dengan rambut serasi dengannya dan menaruhnya di baby box.

Lalu pria itu mengambil sebuah kertas, menulis, melipatnya seperti pesawat, dan menggantungkannya bersama dua pesawat lainnya.

Muncul sebuah senyum puas di wajahnya.

Kemudian matanya menangkap langit menitikkan air di luar jendela. "Eh? Hujan?" Hinata sontak bangkit dari duduknya, memeriksa tempat payung di dekat pintu. "Are? (y/n) tidak bawa payung?"

Tak butuh waktu lama, Hinata langsung menghubungi Natsu yang kebetulan sedang berada di sekitar sana.

"Tolong jaga Mikasa sebentar. Aku mau menjemput (y/n)."

🍊🍊🍊

"Yah, mana gak bawa hp lagi.." Gumammu sedangkan batinmu merutuki diri yang bisa-bisanya lupa bawa payung.

Dengan memegang beberapa kantong belanjaan, kamu berdiri di depan konbini sambil menunggu hujan mereda.

"Hhh.. Sepertinya akan semakin deras." Kamu pun menoleh ke kanan dan kiri, berharap ada payung terbang. Namun hal seperti itu tampaknya mustahil.

PAPAWhere stories live. Discover now