Prolog

217 25 12
                                    

🍁🍂

***

"SAMUDERA! Samudera! Samudera!"

"ANGKASA! Angkasa! Angkasa!"

Sore hari saat jam sekolah sudah usai, lapangan basket justru tengah ramai dan riuh oleh suara para murid SMA Matahari yang seakan-akan memenuhi udara. Ada tontonan seru sore ini yang tidak boleh dilewatkan.

Di tengah lapangan tersebut, dua pemuda sedang berhadapan. Yang satu berkulit putih bersih, berambut hitam pekat, dan bertubuh ramping. Sementara yang satunya lagi, berkulit hitam manis dengan rambut cokelat yang senantiasa awut-awutan. Ada tulisan ANTARIKSA di bagian belakang jaketnya, yang juga dimiliki sekumpulan remaja laki-laki di pinggir lapangan.

"Kenapa? Masih mau jadi pengecut lo?" serunya, kembali menantang pemuda berpakaian seragam sekolah yang rapih di depannya. "Gue cuma ngajak lo duel basket, bukan adu otot. Karena gue tau anak mami kayak lo, nggak tau caranya mukul orang."

Dialah Bintang Samudera, atau biasa dikenal dengan nama Sam, ataupun Samudera. Merupakan ketua geng Antariksa, yang paling populer di kalangan remaja, di setiap sekolah di Jakarta. Otak dari kenakalan remaja, dan satu-satunya murid yang membuat para guru keluar dari sekolah akibat tidak tahan dengan kelakukannya.

Menjadi anak donatur sekolahlah yang membuat pihak sekolah tidak bisa mengambil tindakan apapun terhadapnya.

Hari ini, dia menantang Angkasa, teman sekelasnya yang merupakan bibit unggul dari sebuah kecerdasan, tekun dengan kedisiplinan, namun tergolong introver. Murid-murid perempuan menjulukinya Pangeran Es, lantaran dia senantiasa menunjukkan ekspresi dingin dan berbicara hanya kapan dia mau saja.

"Gue nggak bisa main basket," tuturnya kemudian, sehingga menimbulkan kehebohan yang luar biasa di pinggir lapangan.

Anak-anak Antariksa mengejeknya sambil mengacungkan ibu jari ke bawah. Namun, Angkasa tetap bergeming, seolah tak terpengaruh.

Samudera tertawa, kemudian berjalan mendekat, lalu menepuk-nepuk bahu kanan lawan bicaranya. "Gue tau. Anak manja kayak lo kan nggak boleh berkeringat."

Angkasa melirik bahunya lalu menariknya dari tangan Samudera. Dengan dingin, dia berkata pelan, nyaris berbisik, "Dan nggak boleh kotor juga."

Kelopak mata Samudera melebar, dan pandangannya berkilat-kilat. Segera dilemparkannya bola basket di tangan kirinya ke arah Angkasa dan mundur beberapa langkah.

"Kalo lo menang, gue bakal berlutut di hadapan lo," tantang Samudera dengan suara lantang.

Bola itu menggelinding lantaran Angkasa tidak menangkapnya. Cowok itu kemudian berbalik dan melangkah, meninggalkan Samudera.

"Woi, pengecut!" seru Samudera, namun Angkasa terus berjalan. Cowok itu pun langsung memasang earphone ke telinga demi meredam suara Samudera dan teman-temannya yang meneriakinya.

"Ah, bangke! Gue pikir dia bakalan terima tantangan lo!" Orion berjalan mendekatinya.

Samudera mengambil bola di bawah kakinya dan melemparnya sehingga mengenai kepala Angkasa. Terdengar beberapa komentar tak suka dari cewek-cewek yang mendukung Angkasa.

"Ayo, lawan gue," lirih Samudera penuh harap. Akan tetapi, Angkasa hanya berhenti selama beberapa detik, sebelum akhirnya kembali melangkah, dan hilang di antara kerumunan cewek-cewek di pinggir lapangan.

"Gagal, Men. Kayaknya dia emang nggak mau nyari ribut sama kita." Rigel bersuara.

Samudera mendecih. "Sampe kapan dia bakal diam. Gue bakal bikin dia keluar dari sekolah ini secepatnya."

"Heran gue sama tuh anak. Udah sering kita bully, tapi mentalnya keras banget," komentar yang lainnya.

"Sesekali dihajar aja. Masa main verbal mulu. Biar dia kapok."

Samudera mendesah, lalu melirik Orion. "Suruh anak-anak bubar. Gue cabut duluan!"

Orion mengangguk kemudian berteriak, meminta seluruh murid yang tadi menonton di pinggir lapangan untuk membubarkan diri. Hanya butuh waktu beberapa menit saja, lapangan itu sudah bersih dari kerumunan orang.

***

Samudera berhenti melangkah begitu sebuah kaleng kosong terbang mengenai kepalanya dari belakang. Giginya gemeletuk dan dia membalikkan badannya, mencari tahu siapa yang baru saja berani melemparkan kaleng tersebut. Tidak ada orang. Saat ini, Samudera sedang berjalan menuju atap gedung sekolah, markas besar Antariksa yang sudah berkali-kali berusaha dibubarkan oleh pihak sekolah.

Tempat itu hanya sebuah ruangan berukuran empat kali empat meter dengan sebuah jendela dan pintu kayu yang menghadap langsung pada matahari terbenam.

Ada banyak cerita di ruangan itu, yang membuat siapa saja tidak berani masuk ke dalamnya, kecuali para anggota Antariksa itu sendiri.

"Siapa?" Samudera bersuara, dingin dan menusuk. "Jangan main-main sama gue."

Bola matanya bergerak awas, namun dia tak melihat adanya tanda-tanda keberadaan seseorang di koridor yang sepi itu.

Samudera mendesah, kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Namun, lagi-lagi sebuah kaleng kosong menghantam kepalanya. Dan ketika dia berbalik, seseorang tampak berlari kencang, melarikan diri.

Samudera menyipitkan matanya dan ikut berlari, mengejar orang yang berani-beraninya melempar kepalanya dengan bekas kaleng minuman.

"Woi! Berhenti nggak lo!"

Seseorang itu mengenakan jaket hitam dan celana olahraga panjang. Larinya cepat dan Samudera nyaris saja menyerah. Dalam hati, dia menebak-nebak siapa gerangan orang itu. Kenapa dia nekat mencari masalah dengannya. Apa dia tidak tahu siapa Samudera sebenarnya.

Samudera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Tutup gerbangnya! Ada yang lagi main kejar-kejaran sama gue."

Samudera menyeringai ketika pintu gerbang tertutup dan anak-anak Antariksa berdiri di sana, sehingga membuat orang yang mencari gara-gara dengannya itu berhenti berlari.

Pada saat itu, masih ada segelintir murid yang berada di area parkir, melihat kejadian itu, tentu saja mereka langsung merapat, penasaran.

"Siapa lo?" seru Samudera dan berjalan mendekat.

Orang itu bergeming.

Samudera tidak bisa melihat wajahnya karena lawan bicaranya itu sedang menunduk dan kepalanya ditutupi topi jaket. Dengan kasar, Samudera menyibak topi tersebut sehingga tampaklah sebuah rambut cokelat milik seorang perempuan.

Samudera mendecih, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Jadi lo, yang nyari gara-gara sama gue? Cewek?"

Cewek itu masih tak berkata-kata. Ketika tangan Samudera memaksa dagunya untuk mendongak, dia pun tak bisa lagi mengelak.

"Siapa lo? Anak kelas berapa?" tanya Samudera lagi. Samudera tidak habis pikir ada murid SMA Matahari yang berani mencari gara-gara dengannya. Cewek pula.

Selain tak menjawab, mata cewek itu menatap Samudera dengan tajam, seolah-olah penuh kebencian.

"Bianca! Bantu gue." Samudera memanggil seorang cewek, yang juga merupakan salah satu anak geng Antariksa.

Cewek bernama Bianca itu lantas mendekat. "Okey."

"Buka jaketnya, gue mau tau siapa dia."

Bianca tersenyum lebar dan menarik resleting jaket cewek di depannya tersebut, sehingga sebuah tanda pengenal di seragam sekolahnya terlihat.

Samudera membacanya dan tersenyum menyeringai. "Starla Aluna."

"...."

***

Are You Ok?Où les histoires vivent. Découvrez maintenant