🌟 Si Pangeran Es Yang Manis

16 2 0
                                    

ANGKASA menurunkan sebelah earphone-nya ketika melihat Bianca, salah satu anak geng Antariksa, datang menghampirinya sambil menyodorkan sebuah buku padanya.

"Punya lo nih, kemarin ketinggalan di perpus," ucap Bianca dengan sebuah senyum manis.

Sekalipun Angkasa adalah musuh berat dari Samudera, si ketua geng, tapi diam-diam Bianca mengagumi cowok di depannya ini. Sudah lama, sejak pertama kali melihatnya. Bukan hanya karena wajahnya yang tampan, tapi juga karena sikapnya yang tidak pernah kasar pada cewek. Sudah begitu, Angkasa pintar banget pula.

Siapa sih, cewek yang nggak suka sama dia? Ya, emang sih, Angkasa itu nggak banyak bicara, tapi Bianca dan mungkin juga cewek-cewek di sekolah ini, berharap bisa menjadi temannya. Karena selama ini, mereka belum pernah melihat Angkasa dekat dengan cewek manapun di sekolah.

Jadi, bolehlah, kalau sekiranya Bianca berharap dia menjadi satu-satunya?

Angkasa mengambil buku itu sambil bilang, "Makasih."

Bianca mengangguk dengan wajah merona merah. "Nama gue, Bianca."

"Gue tau. Anak Antariksa, kan?"

Mana mungkin Angkasa tidak tahu. Waktu sudah berjalan dua tahun, dan wajah Bianca sudah sering dia lihat di kerumunan anak-anak brandal itu.

"Iya. Tapi, gue nggak seperti yang lainnya...," lirih Bianca, ingin menjelaskan kalau dia sama sekali tidak pernah memusuhi Angkasa.

Angkasa kembali memasang earphone-nya yang melantunkan lagu favoritnya, kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Bianca yang kemudian menghela napas kecewa.
Padahal setelah sekian lamanya, baru kali ini dia berani menghadap Angkasa untuk berkenalan. Tapi, sayang, sikap cowok itu terlalu dingin padanya.

Bianca terkesiap ketika dilihatnya Vanessa berdiri di depannya dengan wajah ketus. "Ngapain lo ngajak tuh cowok ngomong? Nggak takut ketahuan sama Samudera?"

Bianca mendengus. "Gue cuma ngembaliin bukunya doang, kok."

Vanessa tertawa mengejek. "Mau PDKT, ya, lo? Jangan deh, Bi. Mendingan sama yang lain aja. Kan, anak-anak Antariksa banyak yang cogan juga."

"Apaan sih, lo." Bianca membalikkan badannya, tak mau membahas hal itu.

"Buang tuh perasaan lo jauh-jauh! Lo nggak mungkin bisa deketin si Angkasa!" tukas Vannessa, seiring dengan kaki Bianca yang mulai melangkah.

Bianca mendengus malas mendengar ucapan teman satu gengnya itu. Tapi, apa boleh buat. Apa yang Vanessa katakan, ada benarnya. Mana mungkin, dia bisa mendekati Angkasa, selama dia masih menjadi anak Antariksa. Samudera dan yang lainnya, pasti akan berbalik memusuhinya dan menjadikannya target buli selanjutnya. Bahkan, mereka pasti akan jadi lebih membenci Angkasa.

Jujur, Bianca tidak mau itu terjadi. Kasihan kalau Angkasa terus-terusan menjadi korban mereka. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan Angkasa. Cowok itu tidak pernah mencari masalah. Dia datang ke sekolah untuk belajar, berprestasi, dan tidak pernah mengganggu siapapun. Tapi, entah kenapa anak-anak Antariksa selalu saja mengganggunya.

***

"Gue denger tadi lo ngajak ngomong anak mami itu, ya?" tanya Samudera saat Bianca datang ke atap gedung sekolah, tempat mereka biasa berkumpul sebelum masuk ke dalam kelas masing-masing.

"Gue cuma balikin buku dia yang kemarin ketinggalan di perpus kok," jawab Bianca, agak gemetar karena yang bertanya langsung padanya adalah Samudera.

Samudera menatapnya tajam, tanpa senyum sedikitpun. "Suka lo sama dia?"

Bianca menggeleng cepat. "Ya enggaklah. Mana mungkin...."

"Yakin?" Samudera benar-benar mengintimidasinya.

"Yakin."

"Kalau gitu, jangan dekat-dekat!" ucap Samudera, dengan nada agak membentak.

Bianca terkejut kemudian cepat-cepat mengangguk. "Iya, Sam."

Melihat Bianca ketakutan, Samudera tiba-tiba mengusap puncak kepalanya. "Sori...."

Barulah Bianca merasakan luar biasa lega ketika mendengar nada lembut yang keluar dari bibir Samudera.

"Ngomongnya jangan pake urat bisa nggak?" ucap Bianca, dengan suara tak kalah lembut.

"Iya, sori, gue nggak mau lihat lo dekat-dekat sama cowok lain. Maksud gue, lihat semua cewek-cewek Antariksa dekat sama cowok lain," kata Samudera lagi.

Bianca tersenyum tipis, meskipun harapannya untuk dekat dengan Angkasa pupus sudah.

"Iya, gue ngerti kok."

***

"Anak baru yang namanya Starla Aluna itu benar-benar harus kita kasih pelajaran. Gue mau, hari ini yang jadi target kita itu, dia. Nggak usah berlebihan, cukup bikin dia ketakutan dulu. Ini tugas lo bertiga, Joan, Arlan, Galang. Gimana? Oke?" ucap Samudera pagi itu, pada seluruh anggota geng-nya.

Ketiga cowok yang ditunjuk itu mengangguk dan menjawab, " Oke," dengan kompak.

Beberapa saat kemudian, bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Hal itu juga menjadi tanda untuk mereka membubarkan diri dan kembali ke kelas masing-masing.

"Sebenarnya gue kasihan sih sama tuh anak baru," ucap Orion saat dia dan Samudera berjalan beriringan menuju kelas.

"Kasihan kenapa?"

"Udah badannya kurus kayak lidi gitu, mau kita kerjain pula."

Samudera mendelik. "Kurus-kurus gitu, gampar lo juga pingsan."

"Haha, nggak mungkin. Tau dari mana lo?"

Samudera tidak menjawab. Dia jadi teringat dengan tepisan tangan Star saat dia memegang pergelangannya tadi. Untuk seukuran tubuh kurang gizi seperti Star, tenaganya cukup kuat.

"Nggak usah mikirin fisiknya dia. Kita cuma nyerang mentalnya."

Orion mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Oke. Lagian peraturannya emang kita nggak boleh mukul cewek, kan?"

Samudera mengangguk. "Nggak akan pernah anak Antariksa mukul cewek. Sekalipun cewek itu datang dari neraka."

"Gila, ngeri juga kata-kata lo. Ya kali, ada cewek datang dari neraka," seloroh Orion, tergelak-gelak sendiri.

***

Are You Ok?Where stories live. Discover now