DALAM UANG SETALI
OLEH : WILARWIGEN
#BLURB
Sebuah novel yang diilhami dari kisah nyata seorang kawan lama yang selama lebih dari satu dasa warsa pernikahannya bersanding dengan dua suami. Suami sahnya terlalu permisif dengan sang istri. Sehingga sang istri teramat menikmati setiap pertemuan dengan suami ke duanya.
Hingga sebuah pertemuan di tempat kerja menghantarkan kesadaran sang suami atas sikap serba bolehnya terhadap sang istri. Dia bertekad untuk merubah pemikiran sang istri. Sebuah perjuangan yang amat sulit baginya, karena tindakannya berlawanan seratus delapan puluh derajad dari kebiasaan sehari-harinya bersama sang istri selama ini.
Demi menggapai keharmonisan hidup berumah tangga akhirnya sang istri harus menjalani theraphy dari beberapa psikolog dan juga psikiater. Penolakan dan sikap depresi sang istri yang selalu muncul membuat kesulitan tersendiri. Sang istri menolak keras tuduhan terhadap dirinya yang dianggap mempunyai gangguan kepribadian.
Lalu berhasilkah peran psikolog dan psikiater dalam mengembalikan gangguan kepribadian sang istri? Kepada siapa akhirnya pengabdian sang istri dilabuhkan?
Yuk, kita simak novelnya!
PART 1
#MERATAP#
"Kumenangis ?" batinnya bertanya.
"Ya, aku sedang suka menangis," rasa menjawab.
"Menangisi siapa ?"
"Bukan urusan kamu! Yang jelas bayangmu menghantuiku. Aku kadang suka kedatanganmu, tapi kadang aku begitu membencimu!"
"Lalu untuk apa kamu menghadirkan rasa untuk bayangnya?"
"Bukaaaan....! Dia bukan bayangan!"
"Lantas?"
"Dia nyata adanya. Dia datang dan pergi sesuai irama dan napas yang kusuka darinya. Dia ada, dia nyata."
"Lalu...?"
"Huhhh! Pergi kamu, pergiiii....!"
"Oke, tapi tidak berselang lama kamu pasti akan memanggilku kesini."
"Itu bukan urusanmu!"
"Jelas ini urusanku, karena kamu tak bisa lepas dari bayangku juga, ha...ha...ha...!"
Lita sesenggukan dalam tangisnya. Dialog dia dan bayangannya, dia ciptakan untuk menghalau berbagai rasa tentang suaminya sendiri dan suami bayangannya. Sapu tangan yang Lita genggam telah menampung jutaan bulir airmata yang tumpah sejak kumandang maghrib senja tadi.
Kursi mewah yang Lita duduki di ruang tengah menjadi saksi bisu deraian dan cucuran airmatanya. Sesekali penyesalan kembali menyelinap dalam relung hatinya. Lita meratap dan merutuk dalam-dalam. Dia kembali mengusap airmatanya. Tapi sebentar kemudian buliran dari sudut matanya mengalir lagi. Kembali sapu tangan berwarna pelangi itu ditangkupkan di kedua matanya, menghisap buliran bening yang belum mau menghentikan derainya.
Cahaya ruang tengah rumah Lita terang benderang. Sinarnya berpendar ayu dari eternit mewah. Seharusnya hati Litapun juga mampu seterang cahaya lampu itu. Mata Lita menerawang menembus dinding-dinding ruangan. Mata yang tak henti menangis itu sedikit sembab. Sapu tangan warna pelangi masih digenggamnya. Lita mencoba mengusir rasa. Rasa yang selalu hadir untuk Farel. Sekali Lita mencoba mengelak dari rasa itu justru akan datang ratusan rasa mengajak.
Huhh...! Puihh..! Lita menghembuskan napas kasar. Atau lebih tepatnya mendengus kasar.
"Faaaaaa.......!" Lita berteriak keras. Rasa di dada meletup-letup mengajak memanggil nama itu. Sebenarnya Lita telah berusaha untuk memendamnya, agar tidak sehisteris itu memanggil Farel. Tapi begitulah setiap Lita mencoba mengelak dari keinginan memamggil namanya, maka dalam waktu yang bersamaan justru akan datang ratusan rasa mengajak berteriak menyebut namanya.
"Faaaa.....! Faareeell...! Huk.huk.huk...."
"Jangan siksa aku dengan rasa ini Fareeel..!"
Lita menangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah. Kakinya dia angkat ke atas sofa kursi. Gaunnya yang panjang berjuntai di kaki meja di hadapannya. Lita kembali tergugu. Sesenggukan dalam kesendirian.
Situasi malam itu sebenarnya cukup menguntungkan Lita. Setidaknya anak semata wayangnya tidak mendengar teriakan histerisnya. Sudah satu semester ini si Nathan, Lita titipkan di pondok pesantren sambil bersekolah setingkat SMP.
Semisal malam itu Nathan tinggal bersamanya dan rasa itu kuat meletup-letup sedangkan Lita tak mampu menghalaunya, tentulah sang anak akan tahu dan mendengar teriakan aneh itu.
Untuk sesaat Lita mampu menguasai diri. Lita mengambil napas panjang. Napasnya terasa ringan. Tubuhnya pelan-pelan relaks. Lita menengok ke sisi kiri kursinya. Jus alpokat yang dia buat masih utuh belum tersentuh. Di sebelahnya dua iris brownis juga belum dimakannya. Dengan perlahan tangan kanannya menyentuh gelas gagang berisi jus alpokat berhias susu coklat di lapisan atasnya. Sedotan plastik yang tertanam di gelas itu Lita raih. Sebentar kemudian Lita menyedot cairan kental nan manis itu perlahan. Tekstur jus yang lembut menyentuh ujung lidahnya. Manis dan menyegarkan. Menghasilkan aroma yang melapangkan pikiran Lita.
Untuk sesaat pula nama Farel hilang dari benaknya. Lita juga kurang tahu mengapa senja tadi tiba-tiba bayangan Farel mendatanginya. Bukankah belum waktunya Lita membutuhkan kehadiran Farel? Biasanya rentang waktu yang dibutuhkan Lita untuk menyapa Farel kira-kira dua pekan setelah kesendiriannya ditinggal sang suami merantau.
Sedangkan malam ini? Bukankah terhitung baru tiga malam suaminya meninggalkan Lita untuk kembali menekuni pekerjaannya di negeri rantau? Gila...! Lita telah benar-benar gila...! Lita mengumpat diri sendiri. Atau justru kali ini Farel telah tergila-gila beneran dengan Lita?
Lita kembali menghela nafas kemudian mengelus dada. Ada ruang lega hadir di sisi hatinya. Bersyukur jeritannya tidak terdengar anaknya. Sehingga Nathan tidak sempat menyaksikan kegilaan ibunya.
***
YOU ARE READING
Dalam Uang Setali
Science FictionBagaimana rasanya berbagi dengan dua suami? Mustahil! Itu kata orang normal. Tapi tidak bagi penderita bipolar ini? Sampai kapan?
