28 - Double G

990 220 183
                                    

"Gladista Prabandari, dipanggil Glad. Kalau mau diartiin sih, bidadari tanah Jawa yang selalu membawa kesenangan."

Tanggung jawab Galih kini bertambah, adik perempuan idaman telah ditiupkan napas ke dunia. Ditemani papi, Jana, serta mami yang masih tergolek lemah di ranjang usai bertaruh nyawa melalui persalinan normal selama dua jam, ia memberi saran sebuah nama kepada makhluk kecil bernyawa, dalam dekapan mami pasca inisiasi menyusui dini.

Menjaga pikiran, perasaan, dan pola makan, cukup berolahraga, tidak melakukan aktivitas berat selama menjalani pelayanan sosial ibu-ibu bhayangkari terhadap lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal, juga bed rest pada bulan keenam kehamilan, merupakan rahasia mami tetap berstamina di usia ke-45.

"Bagus. Biar sama-sama nama depannya GP, kan? Gimana, Mi?"

"Boleh, Papi dulu kan udah kasih nama Galih, sekarang gantian Galih sendiri. Mami sih tinggal terima transfer kado mentah aja dari Papi sama Galih, nyehehehe.."

Badan boleh capek, hati dan pikiran tetap bahagia. Itulah prinsip Mami Galih supaya produksi ASI lancar, mengurangi dampak post partum depression atau baby blues kelak, serta dapat membagi adil kasih sayang kepada kedua anaknya yang berbeda usia 20 tahun.

Walau Galih terlalu polos menemukan bentuk topeng lugu melapisi sorot mata papi dan mami, mengetahui nama si adik terdengar familiar.

Boleh saja Jana tak menyangka bahwa Galih menyimpan rasa sedalam itu, sampai nama tengahnya Galih sematkan untuk kebanggaan kedua Keluarga Raditama. Yang jelas, Jana bersyukur kondisi Mami Galih dan Glad cukup stabil.

Jana sungguh terharu.

"Halo, Glad.." mami menimang peri cantiknya, tampak sedikit membuka mata. "Hai, sayang, ini mami. Ada papi, Kak Galih, sama Kak Jana tuh."

Berbunga mekar perasaan Galih memandang adik kandung baru, nyaman menatap kakaknya, terlebih keinginan Galih menjaga dan bertanggung jawab atas Glad mulai timbul.

"Adek udah Papi azanin, belum?"

"Udah tadi, Gal, sebelum dibersihin. Mau gendong?" Tawar papi. Belum sempat Galih mengiyakan, papi mengambil alih Glad, menyerahkannya pada Galih.

"Pi, nggak bisa..."

"Bisa, elah! Pesimis amat jadi manusia!"

"Galih nggak pernah gendong bayi, Pi. Terakhir ditemplokin koala aja pas SMP."

"Anggep latihan gendong anakmu sama Jana."

Mohon maaf, Pak, pacar anak Bapak kaku sekali berdiri membelakangi. Apakah tidak prihatin pada degup jantung gadis perawan calon menantu idaman?

"APAAN SIH PAPI KOK BENER BANGET? HAHAHA!"

"Sshh.. jangan teriak-teriak di rumah sakit, Galih!" Tegur Jana tak enak, mencubit lengan Galih supaya agak tenang.

"Ya habis gimana dong, Yang? Aku pernahnya gendong kamu, bukan bayi. Hihihihiii!"

Napas memberat keluar, nasib memiliki anak laki-laki terbiasa bicara seenaknya di rumah. Sekarang tambah anak perempuan lucu, semoga Tama dan Lila tidak migrain.

"Cepet nggak pake lama, buruan. Habis itu Jana gantian gendong, pokoknya semua harus puas dapet giliran, sebelum besok Glad dikuasai temen-temen kalian sama orang tuanya."

"Hehee.. siap, Pi." Seringai Galih menurut, membetulkan posisi tubuh Glad mendekat dadanya. "Yuhuuu... welcome to world of our own, my younger sisteerrr.."

Tak sia-sia Galih berdoa sepanjang waktu, meminta adik berjenis kelamin perempuan agar daster jahitan mami dahulu tiada mubazir, masih bisa di-laundry seharum pakaian baru. Lembut menimang, sesekali mencium pipi sehalus kue mochi itu. Ah, indahnya persaudaraan.

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang