7 - Arti Sahabat I

1.5K 302 115
                                    

Kabin kelas bisnis maskapai KLM tujuan Cengkareng dari London Heathrow terlihat diisi oleh tujuh orang penumpang, termasuk lelaki muda berusia awal 20-an, serius membaca surat kabar The Indonesia Times sembari menikmati long black panas.

Adalah Reno Chandra Dewangkara, dalam perjalanan pulang ke kampung halaman usai menuntaskan pendidikan strata satu selama tiga tahun di wilayah tempat Frederick Harvey, 8th Marquess of Bristol, bermukim. Lain hal dengan Sissy yang sudah berangkat lebih dahulu kemarin sore, Reno didampingi dua orang ajudan memilih untuk merasakan bagaimana orang-orang kebanyakan bisa naik kelas lewat promo miles.

Hingga lagi-lagi, pikiran Reno tertarik pada mimpi semalam, di mana papa dan mama menentang keras kehadiran Sissy sebagai pasangan si bungsu. Lalu slide mimpi itu berganti pada sosok wanita cantik, mengaku merupakan saudara kandung dari pelaku kejahatan tiga tahun silam yang membuatnya terikat dengan lingkar pertemanan sejati bernama sahabat.

Koran ditutup, galeri ponsel dibuka, menampilkan foto-foto lawas saat ia, Galih, Harsya, William, Arif, dan Fauzi bercengkrama bersama ketika libur semester. Lima orang itu kompak mengunjungi Reno, difasilitasi oleh jet pribadi keluarga William demi mengentas rindu.

Senyum Reno mengembang penuh, bulir kangen deras mengaliri pembuluh darah.

Pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat diumumkan, gelas kopi Reno telah diambil pramugara, tiba baginya untuk menatap jendela, menemukan lampu-lampu khas gemerlap ibukota menyapa.

Welcome home, Ren.

***

"Reno udah balik ke Jakarta."

"Serius??" Galih berseru surprised, sendok nasi soto kudus tak jadi ia suapkan ke dalam mulut. "Kirain masih tahun depan. Perusahaan keluarga dia ada cabang di London juga, kan?"

Fauzi mengangguk. "Gue kira juga masih lama, cuy.. tapi tahu sendiri gimana si Chandra, sekarang dia bukan anak pembangkang lagi. Disuruh pulang sekarang ya udah.. nggak pake tunda."

Sepulang Fauzi kuliah, Galih membuat janji temu makan malam bersama di Blok S. Pening kepala Fauzi memikirkan skripsi serta aneka kesibukan yang membuatnya jarang memiliki waktu pribadi, sementara Galih yang baru diterima bekerja di perusahaan minyak dan gas asal Jepang, hampir membotakkan rambut mengingat tugas kerja cukup menggila setiap hari.

"Terakhir kali ketemu, gue inget banget.. kita siram Reno pake air sabun bekas cuciin mobil buat bangunin dia tidur, terus Harsya lari-lari ngigo bilang kalo habis nemu orang yang kenal dia di depan pintu."

Kening Fauzi mengernyit. "Tapi, Gal, lo ngerasa nggak sih si Acha nggak bohong?"

"Itu bocah kelewat jujur, Zi, gue tahu. Curiga gue, jangan-jangan kita masih diintai Tante Shafira sama Bang Leon."

Sunyi menyela, membiarkan Fauzi memandang masyarakat berlalu lalang, menyisakan separuh mangkuk soto yang tampak diincar Galih.

"Lo mau? Habisin aja nih, gue lagi nggak nafsu makan." Peka betul si mas calon dokter.

"Yaa buseet.. jalan lo masih panjang banget, Zi. Skripsi, koas, terus apa tuh.. pendidikan spesialis, ya? Jangan stres-stres amat kali. Kena maag, tahu rasa."

Dalam hati Galih bersorak, ia tak perlu merogoh kocek menambah porsi. Ditariknya mangkuk soto Fauzi mendekat, tak lupa dua sendok sambal ia tambahkan.

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang