19. Aku Berharap Waktu Berhenti, Tapi Tidak Bisa

Start from the beginning
                                    

“Aku alergi makanan laut,” balasku dengan nada dingin.

Kenapa kesannya aku marah ya?

Aku melepaskan pelukanku kepada Tala. Berbalik ke tempat piknik kami.

“Sudah selesai main airnya?” Tala mengejarku

“Sudah.”

“Tumben.”

Aku berhenti. “Karena seperti yang Mas Tala bilang seberapa pun aku menikmatinya kita tetap pura-pura. Aku mau balik kamar lagi biar enggak perlu pura-pura jadi suami istri di hadapan orang lain lagi.” Oke aku ngambek.

“Felicia, Sayang.”

Aku diam.

Darling.”

Aku menggerutu.

Honey.”

Aku berhenti berjalan.

“Istriku.”

“Apa?” Aku berkacak pinggang dan melotot.

“Aku juga bahagia, terima kasih. Baik itu pura-pura atau tidak, saat aku bersama kamu ... aku bahagia,” katanya.

Aku melihat wajah Tala merona merah. Dia enggan menatapku, menunduk memandangi kaki telanjang kami. Gemas sekali sih, kayak anak remaja yang lagi malu-malu kucing. Eh tapi kan aku lagi kesal. Jadi, aku hanya bergumam sebagai jawaban kemudian berlalu kembali ke kamar hotel.

“Sayang tunggu. Jangan marah. Mas Tala sedih kalau kamu marah,” Tala berkicau memohon kepadaku yang berlagak cuek padahal dalam hati berbunga-bunga.

Aku tidak lama-lama kok ngambeknya sama Tala karena Nabastala yang pintar, memberikan penawaran bagus. Dia mengusulkan kegiatan yang harus kami lakukan di kamar.

Tahu tidak apa yang kami lakukan?

Memperbarui perjanjian, Tala setuju dengan usulku perihal melakukan skinship. Kami diperbolehkan saling menyentuh, bercumbu, dan semacamnya asal dalam kondisi berpakaian lengkap. Tidak ada kancing dan celana yang terbuka. Hal ini disebabkan kami harus memperdalam akting, itu kata Mas Tala. Jadi, saat orang lain yang iseng tanya perihal kehidupan seks kami―lebih tepatnya Mom―aku tidak kaku lagi dalam menjawabnya. Sebenarnya, aku tidak terlalu setuju sih soal harus berpakaian lengkap waktu saling lahap-melahap, kayak aneh aja. Aku kan juga pengen menikmati otot perutnya Talatakdung. Walaupun begitu, ini termasuk kemajuan besar.

“Mas Tala enggak punya tato di pantat kan?”

Tala yang lagi membaca kontrak pembaruan kami langsung memberikan tatapan bertanya. “Maksudnya?”

“Misal nih kalau Mom ngetes tanya, ada berapa tato di badan Tala? Aku jawab apa dong? Kan kita gak boleh telanjang pas ena ena,” mulutku ini pinter banget ya.

“Aku enggak punya tato.”

“Yakin? Kalau tidak yakin aku bantu cek sini. Cepet buka celananya."

Tala langsung mencubit pipiku. “Kamu ini ya, belajar nakal dari siapa?”

Aku memberengut. “Aku serius nih.” Aku meraih tangan Tala kemudian menautkan dengan jari-jariku, sangat pas dan serasi.

Tala yang duduk di hadapanku pun hanya geleng-geleng kepala. “Untung suami kamu ini bisa mengendalikan diri dengan baik, Felicia. Kalau enggak―“

“―Kalau enggak kenapa?” potongku.

Tala memutar bola mata. Dia berdiri dari duduknya setelah tanda tangan kontrak baru, menyerahkannya kepadaku. “Simpan baik-baik, Mas Tala mau tidur siang.”

Oh My Husband!Where stories live. Discover now