Bagian 2

118 10 0
                                    

Setelah menguatkan diri, Makwo maju mendekati pintu. Dia sebenarnya bukan benar-benar pemberani, tetapi karena rasa penasaran terus merongrong dan tidak mau diliputi praduga. Maka, lebih baik dihadapi saja.

Krieet ....

Pintu terbuka. Angin malam menerobos ke dalam. Seketika Makwo terbelalak, mulutnya terbuka.

"Makwo ...."

"Pu-pulung?"

Makwo Syarif berupaya menguasai diri. Dari wujud yang sangat pucat dan berlendir, wanita itu tahu kalau yang dihadapi bukanlah Pulung, melainkan arwahnya. Bersyukur ia masih ingat doa-doa yang diajarkan Pakwo, meskipun cuma secuil.

"Audzubillahi minash shaiton nirajiim."

Makwo mengucap kalimat itu berulang-ulang, meskipun lidahnya terasa kaku. Semakin kuat dia bertaawuz tatkala melihat sosok itu mendelik dan mengeluarkan darah.

Terpejam. Makwo tak kuat menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapan.

Puk!

Makwo mendadak berhenti saat bahunya serasa ditepuk. Matanya seketika terbuka, melirik tangan yang masih nempel di bahu.

"Audzubillahi minash shaiton nirajiim," ujar Makwo kencang.

"Apa kau kira aku ini setan, Mak Rini?" Pakwo mendengkus sebal. Sementara istrinya terduduk lemas.

Pakwo memang biasa memanggil sang istri dengan paduan nama anak sulung, seperti diajarkan oleh adat istiadat di sana. Begitu juga dengan Makwo yang memanggil suaminya Bak Rini. Mungkin maksudnya supaya lebih menyadari eksistensi sebagai seorang istri/suami sekaligus ibu/ayah.

"Nah, kenapa malah duduk di sini?" tanya Pakwo. Dia bergegas menutup pintu dan menguncinya.

"Masuk angin nanti kau lama-lama di muka pintu," imbuh Pakwo, kemudian ikut duduk di dekat istrinya. Lelaki itu memunguti lemang yang berserak di lantai.

"Bak Rini ... tadi ada Pulung," kata Makwo lemas.

"Pulung?" Pakwo bertanya di sela waktu meniup lemang yang jatuh.

"Iya. Badannya basah dan berlendir. Matanya melotot dan mengeluarkan darah."

Pakwo menghela napas berat. Dia berdiri sejenak meletakkan piring ke atas meja, lalu kembali duduk.

"Jangan ceritakan pada Ateng. Nanti dia bisa tambah sedih. Sudahlah, ayo kita duduk di langkan," ajak Pakwo.

***

Sementara itu di sekitar sungai, dua warga terlihat memasang bubu. Sudah menjadi kebiasaan mereka memasang perangkap ikan di malam hari. Berharap malam ini banyak ikan yang akan terjebak ke dalam bubu, apalagi tadi hujan deras. Kemungkinan besar ikan dari hulu sungai ikut hanyut ke hilir. Sungai desa Lubuk Sini ini mendapat aliran dari air sungai Rindu Hati yang terkenal banyak ikannya.

"Berapa bubu kau pasang, Rajap?" tanya Bernai. Dia menancapkan satu obor di pinggir sungai, untuk menerangi temannya. Satu obor lagi dibawa ke tepi sungai yang lain.

"Tiga," jawab Rajap singkat. Dia masuk ke dalam air, di bagian pinggir. Sejenak ia membuang puntung rokok kretek hasil lintingan sendiri.

"Kalau banyak tangkapan kita malam ini, besok aku nak buat ikan tapau," ujar Rajap penuh harapan.

"Aku pun." Bernai menimpali. Dia hanya memasang satu bubu besar, tetapi harapannya sama saja dengan Rajap. Bubu sudah terpasang, dia menghampiri temannya.

Sambil berjalan, Bernai mengamati sekitar. Entah mengapa dia merasa seperti sedang diawasi. Sesekali lelaki itu menengadah, memperhatikan sekitar. Meskipun, tidak semua bisa terlihat sebab jangkauan penerangan obor yang terbatas.

Teror DugakDonde viven las historias. Descúbrelo ahora