Prologue

744 92 27
                                    

[1]
Park Shin Hye as Umesaka Nagisa Andirani

[1]Park Shin Hye as Umesaka Nagisa Andirani

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


===&===

"Ya ampun, Lutfan! Kamu ini habis kerja apa habis perang, sih?" seorang perempuan yang sebaya dengan laki-laki tersebut terbelalak kala melihat penampilan adik kembarnya.

Lingkaran hitam nampak di bawah sepasang mata cokelat gelap Lutfan. Sorot pandang kuyu khas orang yang menahan kantuk karena banyak terjaga sejak kemarin pagi terpancar jelas di balik kacamata bulatnya. Rambutnya yang kerap tersisir rapi dengan poni ter-pomade ke atas mirip jambul kini terkesan tidak tertata. Langkah tegapnya pun berubah gontai. Kerah kemeja hitamnya tidak berdiri dengan sempurna lagi. Jelas sekali ia butuh waktu untuk terlelap.

"Kerjalah, Mbak!" Nyatanya, ia masih memiliki tenaga untuk menyahut dengan suara yang terkesan ketus. Padahal dirinya tidak berniat demikian. Memang seperti inilah caranya bicara.

"Mas, baju gantinya sudah kusiapkan di atas sofa kamar." Gisa berjalan mendekat saat mendengar suara kedatangan suaminya. Tas ransel berukuran sedang menempel di punggung, tanda ia akan pergi.

"Oke," sahut Lutfan lemah berbarengan dengan Gisa yang mencium tangannya.

Meninggalkan dua perempuan di ruang tengah, sosok setinggi 183 centimeter itu lanjut menaiki tangga menuju kamar. Sendi-sendi di setiap pertemuan tulang bagaikan engsel pintu karatan, apalagi saat menapak anak tangga-berat rasanya.

"Eh! Buatkan Lutfan susu atau teh hangat dulu kek! Masa begitu saja harus diajari terus, sih!" Hani melirik adik iparnya yang baru saja balik badan selepas melihat punggung suaminya sesaat. Ucapannya berhasil mencegah pergerakan kaki kanan Gisa.

Gisa tidak kaget dengan ucapan seperti itu. Telinganya sudah kebal. Maka, ia sekadar menyahut, "Tidak akan diminum, Mbak. Keburu Mas Lutfan ketiduran."

Hani melirik cepat jam di pergelangan tangan kirinya yang hampir menunjuk angka dua. Kemudian, beralih meneliti penampilan Gisa dari kepala yang tertutup pasmina biru tua hingga ujung kaki yang terbalut sepatu heels setinggi 5 centimeter. "Mau pergi?" Matanya masih menyelidik. Tidak luput suaranya pun terdengar demikian.

"Iya, Mbak. Ada mahasiswa mau bimbingan."

Hani menaikkan sudut kiri bibirnya, lalu berkata, "Bagus, sih, kamu kerja juga, tetapi Lutfan seperti tidak punya istri. Menikah ataupun tidak, dia kelihatan sama saja. Kalau kamu sibuk kerja, mendingan tidak usah menikah. Kasihan adikku yang jadi suamimu, jadi tidak terurus."

Astaghfirullah! Selama hampir dua tahun menikah dengan Lutfan, selama itulah Hani memberi komentar ngalor-ngidul yang mengharuskan telinga dan hati Gisa resisten. Awalnya, itu terdengar menyakitkan, tetapi lambat laun terbiasa dan menanggapinya dengan santai meskipun tidak selaras dengan hati. Namun, ucapan barusan sungguh meremas hati dan menginjak harga dirinya sebagai seorang perempuan sekaligus istri.

Apakah dirinya memang sungguh pantas mendapat nyinyiran seperti itu?

Matanya memanas seiring langkah keluar rumah. Untuk pertama kalinya, ia tidak yakin bisa menyetir sendiri sampai kampus karena air mata mulai memburamkan pandangan.

***&***

Oke! Gimana nih, prolognya? Kalian udah mencium bau-bau ...? Coba komentarnya yak, Fii pengin tahu, ahahaa (peace).

Semoga kalian tetap mau menunggu kelanjutan cerita ini, yaaa. (Fii kasih kiss kiss dulu sini). And then, ada yang mau nebak kira-kira siapa tuh yang jadi sosok Lutfan? 🤭

August, 18 2020

09.02 PM

Thank you so much,

Fii

Beside YouWhere stories live. Discover now