4. Kenangan

Mulai dari awal
                                    

Sayang, Maryam hanya sebentar dalam dekapan kasih sayang perempuan sabar itu. Sebuah penyakit mematikan telah merebut dan memisahkannya dari orang-orang tercinta. Kanker mulut rahim. Bapak dan keluarga mengetahui setelah semuanya terlambat. Ketiadaan biaya membungkam niat dan keinginan membawa ibu ke rumah sakit. Bapak hanyalah petani kecil yang masih bisa dikatakan beruntung karena memiliki sepetak sawah warisan kakek. Ibu pun tidak pernah mengeluh, tetapi sorot matanya menyiratkan rasa sakit yang teramat dalam.

"Mbak, Bapak kapan ya ke kota? Aku mau ikut. Ada yang mau kubeli di pasar kabupaten." Maryam memegang erat tangan kakaknya.

"Nanti tanyain ke Bapak aja. Apa yang mau kamu beli di sana, Dek? Memangnya kamu punya uang banyak?" tanya Mbak Ningsih sambil menatap Maryam di sampingnya.

Gadis kecil itu hanya tersenyum kecil. Dia sepertinya mempunyai sebuah rencana. Tangan Mbak Ningsih digoyangkan hingga keduanya saling mengayunkan tangan.

"Aku punya uang, Mbak. Uang jajan yang dikasih Bapak buat sekolah disimpan aja. Ditambah sama upah bantuin Bude Darmi ngebersihin rumput tempo hari."

"Kamu rupanya udah punya rencana ya? Coba Mbak kasih tahu, dong! Janji deh, engga bakalan kasih tau siapa-siapa."

Mbak Ningsih mencoba membujuk adiknya sambil sedikit menunduk mendekati wajah Maryam. Gadis kecil itu mengelak dan tertawa. Dia menggelengkan kepalanya dan berlari kecil menuju dangau bambu milik Bapak. Namun, wajah Maryam yang semula cerah tiba-tiba berubah. Dia terlihat kaget dan ketakutan. Tangannya menunjuk ke arah samping saung bambu.

"Mbak, Bapak ...."

Mbak Ningsih berlari mendekati Maryam. Wajahnya ikut menegang. Bungkusan makanan yang dipersiapkan untuk makan siang bapak lepas dari genggaman. Maryam diam terpaku menatap pemandangan yang ada di depannya. Entah apa yang dirasakan gadis kecil itu. Mbak Ningsih cepat menguasai keadaan.

***

Bapak terjatuh. Sebelum itu beliau melihat seekor ular sawah mendekati, lalu bapak mencoba menghindar. Tanpa sadar kakinya menginjak batu yang ada di samping saung bambu. Ternyata batu pijakan itu tidak kuat menahan berat badan Bapak hingga tubuhnya terjungkal ke parit yang cukup lebar dan banyak bebatuan runcing.

Beruntung, saat itu airnya tidak mengalir deras, tetapi Bapak tidak bisa bangun karena kakinya terkilir. Ini yang membuatnya sulit berdiri. Selain itu, ada luka memar dan goresan besar dan dalam yang mengakibatkan kakinya berdarah. Bapak hanya bisa duduk bersandar bambu penopang dangau sambil mengurut kaki di tepian parit, menunggu orang yang melewati sawahnya. Justru Maryam yang menemukannya pertama kali.

Dengan bantuan dan pertolongan beberapa orang yang ada di dekat sawah mereka, Maryam mencari bantuan ketika Mbak Maryam membersihkan luka, akhirnya Bapak dibawa ke rumah. Mbah Rejo, tukang urut kampung, dipanggil untuk memijat kaki Bapak yang terkilir. Setelah itu dibalur parem kocok buatannya. Wajah Bapak yang semula pias kini terlihat segar kembali.

"Sekarang rasanya bagaimana, Pak?" tanya Mbak Ningsih.

Mbak Ningsih dengan lembut mengusap kaki Bapak yang dibebat kain. Laki-laki itu meringis, lalu tersenyum. Badannya yang tinggi kurus digeserkan sedikit sampai bibir ranjang.

"Sudah baikan, Nduk. Tolong ambilkan minuman Bapak!" pintanya pelan.

Mbak Ningsih kemudian memberikan segelas air putih kepada Bapak. Dari balik pintu tua seraut wajah menyembul. Sepasang mata sembab diam mengawasi. Sejak tadi aliran bening membasahi pipinya. Wajah kecil itu sepertinya takut jika terjadi sesuatu pada bapaknya.

"Bapak ...."

Maryam memanggil dengan tenggorokan tersekat. Langkahnya terhenti. Dia masih di depan pintu. Tangan laki-laki berusia 45 tahun itu memberi isyarat agar gadis kecil itu mendekat. Maryam berlari sambil terisak. Tak lama kemudian Sarah masuk ke kamar dan mengelayut manja di bahu Bapak.

"Bapak sakit ya?" Tangan mungil Maryam memijit perlahan kaki Bapak yang semakin gelap karena sengatan matahari.

"Sedikit," jawabnya.

Tiba-tiba pintu terbuka dengan keras. Semua menoleh. Mas Topan berlari dengan wajah keruh dan tegang. Bau keringat terkena matahari menguar dari tubuhnya yang berbalut kaos jersey klub sepak bola. Peluh membasahi tubuhnya yang menjulang.

"Bapak ... Bapak kenapa?" tanyanya dengan bingung.

"Enggak kenapa-napa, Le! Tadi Bapak hanya terkilir saja di sawah. Kamu kalau main layangan hati-hati! Lihat tuh wajahmu sudah gosong." Bapak terkekeh.

Mas Topan memijat kaki Bapak sembari merapikan kain batik yang menutupi kasur kapuk yang sudah tipis. Kini di kamar yang luasnya tidak seberapa, Bapak berkumpul dengan keempat anak-anaknya. Gejolak cinta membuncah dalam dada. Satu persatu wajah mereka dipandangnya. Hati Bapak senang. Namun, ada keharuan menyelimuti hatinya.

"Anak-anak Bapak sudah besar semua. Tidak terasa lima tahun sudah Ibu meninggalkan kita. Beruntung Bapak memiliki kalian semua. Anak-anak yang baik dan selalu nurut sama orang tua."

Suara Bapak parau dan lirih. Bayangan wajah Ibu seolah tersenyum padanya. Terlebih saat menatap wajah Maryam yang sangat mirip dengan almarhumah Aminah, istrinya. Ningsih, Topan, Maryam, dan si kecil Sarah menatap Bapak dengan mata yang berkaca-kaca.

Diam-diam Topan membelakangi Bapak. Dia tidak ingin terlihat cengeng. Diusapnya dengan kasar air mata yang sempat mengalir. Tidak boleh cengeng, gumamnya. Bagaimana pun juga anak laki-laki di rumah itu hanya ada dia jika Bapak tidak ada.

"Ningsih, kamu anak Bapak yang paling tua. Bagaimana pun juga nantinya kamu yang harus bisa mengatur adik-adikmu. Topan kelak akan jadi laki-laki kuat penjaga saudara-saudara perempuan. Maryam dan Sarah, kalian harus patuh sama Mbak Ningsih dan Mas Topan ya! Satu lagi, jangan lupa salat dan mengaji," nasihat Bapak sambil mengusap kepala Sarah yang bermanja di pangkuannya.

Maryam mengangguk. Rasa cintanya kepada Bapak membuatnya menerima semua nasihat tanpa bisa membantah. Maryam kecil bertekad ingin membahagiakan keluarganya suatu saat kelak. Tekad inilah yang membawanya kepada sebuah lorong kehidupan yang jauh dari angan dan impian.

*** Bersambung ***

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang