bonus-slash-epilog : found

2.3K 311 28
                                    

        Malam pukul tujuh lewat beberapa menit, seharusnya merupakan waktu di mana Lee Renjun telah sibuk memasak makan malam mereka di dapur dengan cekatan.

Tetapi, malam itu dapur hening, tak ada hawa hangat yang bersumber dari kompor.

Jeno mendengus, baru saja pria yang telah resmi menikahi Huang Renjun dan menculik pemuda manis itu dari keluarganya selama tiga tahun, pulang dari kantor. Dan harapannya melihat Lee Renjun dengan apron—pemandangan indahnya tiap pulang bekerja—harus pupus.

Ia teringat, tentu saja. Renjun kan sedang mengunjungi keluarganya. Mungkin saja ia tidak pulang malam ini. Jeno juga seharusnya ikut andai saja atasannya tidak semena-mena memintanya masuk kerja dan membatalkan rencana cutinya.

Jeno mengelus dadanya, mengasihani diri sendiri yang harus tidur sendirian malam ini. Pasti ranjangnya terasa sangat dingin.

Dengan gontai, Jeno melangkahkan kakinya menuju kamar. Ia mulai membuka satu persatu pakaiannya mulai dari jasnya hingga ke kaus kaki, semua harus dimasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor.

Saat ia melepas dasinya, tie pin-nya jatuh ke atas lantai, menimbulkan suara yang cukup kencang. Tie pin itu lalu menggelinding, dan menyusup ke bawah lemari pakaiannya dan Renjun.

Jeno menghela nafas berat. Sial, tubuhnya sudah lelah malah harus membungkuk-bungkuk lagi. Tetapi ia ingat kata-kata makhluk kesayangannya, yaitu tidak boleh mengeluh hanya karena perkara kecil.

Saat jarinya masuk ke bawah lemari pakaian, Jeno menggerutu pelan. Pasalnya tidak dapat ia temukan tie pin itu.

Malah, jarinya menyentuh sebuah kotak? Seperti kardus tetapi sedikit lebih kokoh.

Jeno lalu menarik kardus itu, ingin mengintip ke dalamnya. Rasanya pria itu belum pernah melihat kardus seperti ini.

Membuka kotak itu, manik Jeno membulat. Ia disapa oleh sebuah payung berukuran kecil yang usang, jaket berwarna biru tua yang telah berdebu, kertas-kertas tua yang diklip dengan rapi, selembar kartu berukuran post card yang berisi tulisan-tulisan singkat, dan juga sepucuk surat.

Apa ini?

Jeno bahkan tak bisa menebak apa maksud dari barang-barang ini.

Jemarinya meraih kertas-kertas yang diklip menjadi satu itu dan membaca tulisan di atasnya.

Laporan penelitian hari ke-1.

Oleh : Huang Renjun.

Oh, ya ampun. Jangan bilang ini  adalah lembaran observasi saat mereka tergabung dalam satu kelompok ilmiah itu? Itu sudah bertahun-tahun lamanya, dan Renjun masih menyimpan ini semua?

Pandangan Jeno menyisiri seisi kotak. Jaket itu sepertinya jaket miliknya, dahulu sekali. Ia ingat, tetapi tak mengingat payung itu. Mungkin kah itu payungnya juga?

Dada Jeno terasa menghangat. Melihat secara jelas bukti perasaan Renjun padanya secara bertahun-tahun membuat lelaki itu merasa sangat diistimewakan. Tak ayal, dirinya semakin jatuh pada sosok manis itu.

Kotak itu ia letakkan, kemudian ia meraih sepucuk surat lusuh yang sepertinya berisi tulisan tangan Renjun.

Jeno menimbang, haruskah ia membaca isi dalamnya? Setelah berpikir beberapa detik, tentu saja ia harus membacanya! Jeno penasaran setengah mati.

Maka, amplop berwarna kelabu akibat digerogoti usia itu ia tanggalkan ke lantai.

****

     “Aku rindu padamu, rindu, sangat, sangat rindu ...”

“Jeno? Ka-kau menangis?” balas suara di seberang telepon dengan panik.

***

Hehehe kangen aja sama noren tak ada maksud apa-apa.

Kisah Cinta KlasikDär berättelser lever. Upptäck nu