1. Sang Bintang

Mulai dari awal
                                    

"Ingat ya, Cantik! Kasih mereka servis yang paling memuaskan!"

Tawa Mami membahana puas setelah Soledad menganggukkan kepala. Langkahnya gemulai meninggalkan kepulan asap yang membuat perih mata.

Soledad pun beranjak keluar. Gaun seksi super mini warna merah saga dengan belahan dada yang sangat rendah membungkus tubuhnya. Rambut tergerai indah bergelombang melewati pundak yang cukup terbuka. Kaki jenjang mulus menambah nilai plus Soledad di mata laki-laki penikmat berahi liar. Sungguh, perempuan muda itu layaknya bunga yang siap disesapi madunya oleh si kumbang.

Di luar sana ... lelaki dengan sebutan Bos tengah menunggu Soledad dengan tatapan yang menggoda. Uang bukanlah penghalang, urusan kecil baginya. Sekali tekan tombol dalam ponsel pintarnya, sejumlah dana siap berpindah rekening, asalkan napsu berahi yang bergejolak terpuaskan.

Dia tidak peduli salah menempatkan sesuatu yang suci yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan halal di mata Tuhan. Baginya dan bagi orang penikmat napsu liar, uang setali dengan kenikmatan dunia, dua hal tidak bisa diganggu gugat.

****

Kepala Soledad berdenyut. Sakit sekali. Pagi ini, dia hanya bisa meringkuk di bawah selimut di apartemennya menahan rasa nyeri. Seperti palu yang menggodam. Tak hanya itu. Badannya ngilu. Sendi-sendi tulang seperti terlepas dari pangkalnya.

Gila! Benar-benar membuatnya terkapar.

Semalam Bos kakap berkepala plontos itu sangat lihai membuatnya bertekuk lutut. Padahal, biasanyaSoledad yang menjadi pemenang dalam setiap ronde. Bos itu tertawa senang di akhir permainan mereka yang panas membara. Hingga akhirnya, sejumlah uang bernilai delapan digit masuk ke rekening.

Soledad tersenyum kecil, misinya berhasil. Dengan sedikit rayuan dan kerlingan matanya, perempuan itu mendapat bonus tambahan. Sejumlah uang tunai dan satu benda berharga berhasil masuk ke kantongnya. Itu di luar transaksi yang sudah mereka sepakati sebagai "hadiah menikmati tubuh".

Soledad tersentak dari lamunan. Telinganya samar-samar mendengar ketukan dari pintu apartemen tempat tinggalnya selama ini. Apartemen Capitol. Sebuah hunian yang letaknya cukup strategis di jantung Ibukota. Soledad sudah dua tahun mengisi salah satu unit tipe studio.

Gadis itu membuka matanya lebar, tetapi dia hanya bisa terdiam tak bergerak. Dia bukannya tidak tahu dan tidak ingin membuka pintu, tetapi tubuhnya terasa berat untuk bangun. Rasa sakit yang mendera membuatnya hanya bisa mematung.

Soledad tahu siapa yang datang berkunjung. Seseorang sudah dihubungi agar datang ke apartemen dan membawakannya sarapan pagi. Namun, ketukan yang ketiga kali memaksa Soledad untuk segera bangun dari pembaringan dan segera membuka pintu.

Tertatih, dia melangkah turun dari tempat tidur. Soledad menyingkap rambutnya yang panjang tergerai dan menutupi bagian depan wajah. Kemudian diambilnya ikatan rambut yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidur. Sedikit mencondongkan tubuhnya, gadis itu memandang sekilas seraut wajah pucat di kaca. Wajah lelah dan pucat tanpa riasan kosmetik.

Soledad kemudian berjalan menuju pintu depan. Dia mengintip lewat lubang intip. Seseorang yang dia kenal dan disuruhnya datang sejam yang lalu kini ada di balik pintu. Perlahan, gadis itu membukanya. Kini, seraut wajah oriental memandangnya heran. Tamu itu kemudian masuk ke dalam ruangan setelah Soledad menurunkan tangan yang menghalanginya dari pintu.

"Kenapa? Kenapa begitu wajah lu? Bukannya semalam dapet Bos kakap? Kenapa jadi kayak gini sekarang?" tanyanya sambil menyimpan bungkusan berisi makanan yang tadi dipesan oleh Soledad.

Soledad bergeming. Dia mengempaskan tubuhnya ke sofa panjang di ruang tamu. Sedikit meringis menahan napas, dia terbatuk-batuk. Orang yang datang tadi kemudian buru-buru mengambil air putih dan memberikannya pada Soledad.

"Dapet duit banyak tapi badan ringsek. Aduh, Sole. Minta istirahat aja napa, sih?"

Soledad tak menjawab. Matanya menatap orang itu. "Zora, tolong bawain vitamin sama obat yang ada di meja kamar, dong! Gue mau minum abis makan." Suaranya parau.

Perempuan yang dipanggil Zora berdiri dan sedikit menggerutu, tetapi dia melaksanakan juga permintaan Soledad. Diambilnya benda yang dimaksud. Soledad kemudian membuka kantong makanan yang dibawa perempuan berambut sebahu itu. Bubur ayam lengkap dengan telur rebus dan sate ati ampela kesukaannya.

Zora hanya bisa menghela napas melihat wajah sahabatnya yang tengah menikmati sarapan pagi. Diam-diam dia merasa sedih melihat kondisi gadis itu. Zora kemudian duduk di seberang Soledad.

Soledad ternyata tidak bisa menghabiskan bubur yang dimintanya. Dia kemudian menyingkirkan bungkusan itu ke tepi meja, lalu diraihnya botol kaca yang dibawa Zora dari kamar. Sebutir vitamin berwarna cokelat muda langsung masuk ke tenggorokan dibantu segelas air putih. Tak hanya itu, obat sakit kepala yang diangsurkan oleh Zora pun diminumnya.

"Kepala gue sakit sehabis "dinas" semalam. Sebenarnya udah terasa sewaktu Bos itu mengajak minum. Gue paksain. Kalau enggak, abislah sama Mami. Belum lagi bodyguard-nya yang sangar itu."

"Wanita tua itu masih bernapsu juga nyari duit? Sole, sampai kapan sih, elu mau begini, Cin? Enggak selamanya elu jadi bintang dan di atas terus. Inget umur, Cantik. Apalagi sih, yang mau lu cari?"

Wajah cantik itu menoleh. Ada kilatan dari matanya yang sulit dimengerti. Zora hanya tahu permukaannya saja. Walaupun mereka sudah berteman lama, ada lembaran rahasia yang tidak bisa diungkapkan saat ini. Soledad tidak ingin melibatkan Zora dan membuat gadis itu repot. Sahabatnya itu sudah banyak membantunya. Cukup! Kali ini Zora tak perlu tahu.

Soledad menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Sebuah rasa tengah berkecamuk dan menggelora. Menyentak dinding-dinding hatinya. Ada getaran yang menembus relung kesadaran dan meluncur hingga ke memori di otaknya. Tiba-tiba kepalanya kembali berdenyut. Nyeri.

Banyak hal yang Soledad pikirkan. Segalanya. Yang jelas dia sekarang sangat membutuhkan uang yang lebih banyak lagi. Karena itulah dia melakukan apa pun agar tetap ada di garis atas sebagai bintangnya Mami Sandra. Padahal, untuk ada di deretan itu banyak hal yang harus dikerjakannya. Ada pengorbanan yang harus dikeluarkan. Walaupun itu menyakitkan. Tidak ada yang gratis. Segalanya harus diperjuangkan walaupun lewat jalan yang tidak dikehendaki Tuhan. Baginya sudah terlambat jika harus menyusuri jalan kebaikan.

Soledad membuang pandangan ke arah luar kaca apartemen. Langit Jakarta yang kelabu seakan tahu isi hatinya. Sebaris wajah menari-nari dalam benak kemudian menjelma menjadi bulatan-bulatan awan yang mengangkasa di cakrawala pagi. Hati Soledad perih.

-- Bersambung--

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang