XiChen menatap Jiang Cheng dalam – dalam, "Jiang Cheng, kau punya keluarga. Punya ayah dan ibu yang selalu bisa melindungimu dengan segenap jiwa dan raga. Kau punya kakak yang selalu memberimu perhatian. Sekarang kau merasa mampu berdiri di atas dunia karena emosi sesaat. Tapi nanti ketika kau benar – benar tanpa proteksi, kau akan sadar betapa kecilnya dirimu ini."

Dalam kondisi normal, ucapan seperti itu adalah penghinaan bagi Jiang Cheng. Dia tak pernah membiarkan seseorang mengkritiknya. Dia selalu dapat melebur persepsi miring tentang dirinya. Entah dengan cibiran sinis atau kepalan tinju. Yang jelas Jiang Cheng tidak akan tinggal diam.

Tapi entah mengapa, semua kata – kata Xichen terasa begitu menusuk sampai – sampai Jiang Cheng tak mampu melontarkan sanggahan apapun. Karena jauh di dalam hatinya, dia membenarkan semua perkataan itu.

Bahwa ada hal yang mustahil didapat jika terus bergentayangan di luar rumah. Ada hal yang pasti akan hilang jika tidak kembali ke tempat asal.

Kasih sayang keluarga.

Bagai langit kelam yang disinari fajar, tirai gelap di pikiran Jiang Cheng tersingkap. Kesadaran yang muncul menjernihkan kepala seorang remaja 17 tahun dari pekat kebencian.

Tiba – tiba saja Jiang Cheng rindu keluarganya. Pada tatapan tegas ayahnya. Pada omelan ibunya. Pada kehangatan kakaknya. Dan pada senyum cerah saudara angkatnya. Semua perasaan itu bergulung menjadi satu, berdesakan untuk mendobrak segala penghalang. 

"Beristirahatlah," XiChen menepuk bahu Jiang Cheng pelan. "Masih ada beberapa jam sebelum fajar."

Tak ada jawaban atau penolakan. Jiang Cheng hanya mengangguk singkat seraya menarik lututnya dan meringkuk seperti bola. Tak lama kemudian kelopak matanya terpejam.

Posisi tidur ini membuat Jiang Cheng jauh dari kata menakutkan. Tanpa tatapan tajam, ucapan sinis dan bentakan keras, dia tampak seperti remaja biasa. Bergumul dengan ego agar jati dirinya diakui.  Merespon segala bentuk pergolakan secara impulsif. 

Sungguh menggemaskan.

Xichen tak kuasa menahan keinginan untuk membelai surai hitam yang tampak halus itu. Perlahan, sangat berhati – hati. Jangan sampai pemiliknya terbangun, atau dia akan mematahkan tangan yang menyentuhnya. 

Masih dengan menatap lekat wajah polos Jiang Cheng, pemuda itu tersenyum.

"Senang bertemu denganmu, A-Cheng," XiChen berbisik lirih, "Semoga perjalananmu malam ini membuahkan pelajaran yang berharga. "

>#*#*#<

"Jiang Cheng, jangan berlari. Kalau kau jatuh Ibu tidak akan menolongmu."

Sentuhan itu begitu lemah, nyaris tak terjamah.

"Lakukan apa yang kau mau selagi kau bisa membagi waktu dengan sekolahmu."

Eksistensi yang terus berjuang, meski hanya dalam mimpi.

"Kue ulang tahunmu kali ini, Ibu sendiri yang membuatnya, A-Cheng. Kamu pasti senang, kan?Jadi, tersenyumlah."

Membelai lembut. Mengusap perlahan. Menjanjikan ketenangan.

"Aiyoo, Jiang Cheng, Jangan memaksakan diri untuk belajar terus – terusan. Otakmu bisa meledak. Ayo, kita main basket sebentar. Kau suka main basket, kan?"

Sampai gemuruh reda dan sunyi tercipta. Lalu menjelma jadi sebuah doa.

"Hei, kuharap kita bisa berjumpa lagi. Selamat tinggal, A-Cheng."

.

.

.

Learn From MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora