Ketika memutuskan untuk meninggalkan rumah, Jiang Cheng sama sekali tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seseorang yang sanggup mengubah akhir dari jalan hidupnya.
Hujan masih bertahan. Intensitasnya yang tinggi berdampak pada penurunan temperatur udara. Jaket tebal Jiang Cheng mulai tak sanggup menghalau dingin. Si Bungsu di keluarga Jiang itu akhirnya meraih kain putih untuk berselimut.
Pergerakan ini mengusik ketenangan XiChen. Dia melirik remaja di belakangnya sambil tersenyum kecil.
"Apa kau kedinginan, Jiang Cheng?"
"Tidak," Jiang Cheng berdalih. "Apa yang sedang kau lukis itu?" dia mengalihkan pembicaraan.
"Oh, ini," Xichen menyingkir, memberi ruang bagi Jiang Cheng untuk melihat sendiri hasil tarian kuasnya.
Sebuah instrumen musik tradisional Cina memenuhi permukaan kanvas. Bentuknya seperti seruling vertikal yang sering dimainkan di festival musik dan acara kebudayaan.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
XiChen mengangguk, "Ini adalah Liebing, satu – satunya benda peninggalan ibuku. Aku sering melihatnya memainkan Xiao ini ketika aku masih kecil. Raut bahagia di wajahnya tak bisa kulupakan hingga saat ini."
Nada sendu dalam suara XiChen mempertegas kecurigaan Jiang Cheng. Dia bukan pecinta seni. Namun Jiang Cheng tetap bisa menangkap kisah dari lukisan di hadapannya. Tiap goresan yang terukir mewakili ungkapan rasa. Ada rindu, sesal, dan juga keikhlasan.
"XiChen, apa yang terjadi padamu?"
Pertanyaan Jiang Cheng membuat XiChen terpaku. Seperti dirinya yang dapat menebak pemikiran remaja itu, Jiang Cheng ternyata juga mampu membaca ekspresinya.
XiChen menghela napas panjang. Manik mata Jiang Cheng mengawasi pergerakan sosok yang mengisi ruang kosong di sofa panjang, tepat di sebelahnya.
"Aku pernah berada di posisimu, Jiang Cheng. Aku pernah membenci rumahku sendiri hingga memutuskan untuk pergi."
"Lalu?"
Xichen tertawa, "Aku menyesal, tentu saja," lanjutnya. "Hidup bebas itu kejam, Jiang Cheng. Hidup bebas itu keras. Jika tidak bisa bertahan, maka kau akan tertindas. Sama seperti hukum rimba. Di mana yang kuat berkuasa, dan yang lemah pasti kalah. Kebebasan itu menyimpan terlalu banyak hal – hal mengerikan."
"Contohnya?"
"Semua yang tentu di luar bayanganmu. Dan aku harap kau tidak pernah mengalaminya."
Jawaban XiChen terdengar biasa saja. Namun kilatan amarah di sepasang matanya begitu nyata. Jiang Cheng semakin dihantui rasa penasaran. Siapakah jati diri pemuda itu sebenarnya?
"Tentang orang tuamu, kau masih punya kesempatan untuk berbaikan dengan mereka," Xichen belum bosan bermonolog. "Sikap mereka sekarang mungkin menyebalkan. Tapi aku yakin, mereka sangat mempedulikanmu. Mereka menginginkan yang terbaik untukmu. Dan kurasa protesmu kali ini sudah cukup menyadarkan mereka dari kekeliruan."