Part 2 (Complete)

Start from the beginning
                                        

Tiba – tiba saja Jiang Cheng teringat sesuatu. Ada satu hal yang sejak tadi mengganggu benaknya. Tak ingin dihantui rasa penasaran, dia pun bertanya tanpa ragu.

"XiChen, darimana kau tahu nama panggilanku?"

"Maksudmu?"

"Kau memanggilku A-Cheng."

Gerakan tangan XiChen terhenti. Pemuda itu meletakkan kuas di atas palet yang teronggok di lantai. Dia menghampiri Jiang Cheng dengan satu tangan terulur. Menunjukkan eksistensi sebuah kalung perak berbandul karakter nama 'Jiang Cheng'.

"Ini terjatuh di lantai saat kau tidur."

Jiang Cheng segera meraih benda dari tangan Xichen. Itu memang benar miliknya. Hadiah ulang tahun dari Wei Wuxian. Jiang Cheng ingat dia telah memprotes habis – habisan pemberian itu dengan alasan 'sebuah kalung lebih cocok untuk perempuan', dan Wei Wuxian menanggapi santai : "Buang saja kalau tidak suka. Nanti aku carikan hadiah lain untukmu".

Jiang Cheng sebenarnya tidak mengharapkan apapun. Hari ulang tahunnya diingat saja dia sudah senang. Tapi sikap cuek sang saudara angkat membuat Jiang Cheng kesal. Kalau memang kalung itu tidak bernilai, untuk apa dibeli? Kenapa juga memberi hadiah jika kemudian menyuruh untuk membuangnya? Bukankah lebih baik tidak usah memberikan apa – apa dari awal? 

Beberapa minggu kemudian, Wei Wuxian benar – benar menepati janji. Dia menghadiahi Jiang Cheng sepatu olah raga untuk dipakai pada turnamen basket antar sekolah. Sebuah pertandingan yang membawa Jiang Cheng meraih prestasi dalam berkompetisi.

Saat itu, orang pertama yang menerima pelukan kemenangan Jiang Cheng bukanlah keluarganya yang hadir sebagai penonton. Bukan pula pelatih atau rekan satu tim. Karena begitu peluit wasit mengakhiri pertandingan, tubuh Jiang Cheng menghambur begitu saja pada sosok di pinggir lapangan. Yang sejak awal giat meneriakkan dukungan. Bersorak riuh rendah tak tahu malu, membakar semangat Jiang Cheng hingga menit terakhir.

Orang itu adalah Wei Wuxian.

Satu hal yang menjadi rahasia hingga detik ini. Kalung pemberian Wei Wuxian tidak pernah dibuang. Jiang Cheng selalu memakainya diam – diam dibalik setiap pakaian yang dia kenakan.

"Jadi, boleh aku memanggilmu A-Cheng sekarang?"

Pertanyaan XiChen membuyarkan lamunan Jiang Cheng. Mulutnya dengan cepat menjawab, "Tidak!"

XiChen meringis. Remaja manis ini sungguh sulit didekati. Temperamen buruknya seperti perisai kokoh tanpa celah. Meski demikian, XiChen yakin. Bahwa dibalik sikap tak bersahabat Jiang Cheng, tersembunyi sosok berhati lembut.

Baru saja XiChen hendak kembali ke posisi semula, satu suara terdengar samar. Berbisik ragu dalam untaian kata.

"Jiang Cheng," deret aksara merangkai nama. "Kau boleh memanggilku Jiang Cheng."

Sudut bibir XiChen terangkat naik. "Terimakasih, Jiang Cheng," sahutnya cepat. Khawatir si pemilik nama berubah pikiran. 

Sementara di balik punggung XiChen, Jiang Cheng memberengut kesal. Dia gagal paham dengan reaksinya sendiri. Desiran darah mengalami akselerasi. Wajah panas, jantung berdegup keras. Kepala mendadak pening tanpa alasan. 

Apa - apaan ini?

XiChen hanya menanyakan nama. Kalau tidak suka, Jiang Cheng bisa tutup mulut. Lantas kenapa harus merasa malu? Kenapa sampai blushing begini? Dia tidak sedang dilamar orang, kan?

Demi Tuhan, Jiang Cheng ingin berteriak frustasi. Untung saja XiChen tidak membalikkan badan, atau pemuda itu bisa jadi korban lemparan botol air penyok yang terlalu kuat digenggam.

Learn From MeWhere stories live. Discover now