>#*#*#<
Matahari telah bergeser dari ufuk timur. Merangkak naik dalam perjalanan menuju titik teratas langit. Gumpalan awan menggoda lazuardi. Menampilkan gradasi putih dan biru penyejuk hati.
Jiang Cheng melangkah gontai. Pengalamannya hari ini sungguh di luar nalar. Begitu banyak pemikiran yang berjejalan. Dan semua bermuara pada satu nama.
"Di luar berbahaya. Aku tidak ingin kau terluka."
Lan XiChen yang baik. Yang selalu ramah dan penuh kehangatan. Meletakkan kepedulian terhadap orang lain di atas diri sendiri. Sosok rupawan berhati malaikat. Hingga tak ada seorang pun tahu, bahwa dibalik wajah yang selalu melukis senyum, tersembunyi sebuah kisah miris berakhir tragis.
"Hidup bebas itu kejam, Jiang Cheng. Hidup bebas itu keras. Jika tidak bisa bertahan, maka kau akan tertindas."
Jiang Cheng tak mungkin lupa ekspresi XiChen saat itu. Masih teringat jelas bagaimana sepasang matanya menyiratkan sebuah peringatan. Dari seseorang yang merasakan langsung, betapa kebebasan terkadang harus ditebus dengan harga yang mahal. Jauh dari ekspektasi. Lebih dari sekedar definisi'sesuai keinginan' atau pun 'tanpa larangan'.
"Dia tidak ingin ada orang lain yang bernasib naas seperti dia."
Sesal itu masih ada. Amarah itu belum beranjak. Jika waktu dapat diputar ulang, atensi manusia pastilah untuk memperbaiki kesalahan. Dan apa yang terjadi pada XiChen hanya sebagian kecil dari misteri tentang bagaimana takdir bekerja.
"Sebelum kau menyesal. Sebelum semuanya terlambat."
Jiang Cheng berjanji dalam hati. Ketika sampai di rumah nanti, dia akan bersujud di kaki ayah dan ibunya, meminta maaf atas kecerobohannya. Dia juga akan memeluk erat kakak dan saudara angkatnya. Tanpa mereka, Jiang Cheng belum tentu sanggup bertahan sejauh ini. Meski harus mendengar pertengkaran lain, atau kembali diperbandingkan, Jiang Cheng tidak peduli. Dia bertekad untuk lebih sabar menghadapi situasi.
Sebelum kesempatan itu hilang. Sebelum penyesalan datang.
Jiang Cheng tiba di halte bus setelah 20 menit berjalan kaki. Sebenarnya Lan Wangji bersedia mengantar, tapi Jiang Cheng menolak tegas. Dia tidak ingin menyusahkan siapapun. Dengan berbekal uang pinjaman dari Wen Qing—Jiang Cheng berjanji akan menggantinya dua kali lipat—putra bungsu Jiang Fengmian itu bersikeras untuk pulang sendiri.
Lalu lintas cukup ramai pagi itu. Berbagai kendaraan umum dan pribadi hilir mudik silih berganti. Selagi menunggu bus datang, perhatian Jiang Cheng tertuju pada toko bunga di seberang jalan. Dia terpikir untuk kembali ke rumah keluarga Lan dan menghias altar XiChen. Mungkin dengan sebuah buket sederhana, yang tersusun oleh mawar berwarna pink gelap serta anyelir merah muda.
Terimakasih banyak. Aku tidak akan melupakanmu.
Untuk mempersingkat waktu, Jiang Cheng pun bergegas. Setelah memastikan kondisi aman, dia mulai menyeberang.
Tapi, agaknya hidup punya rahasia.
Ketika Jiang Cheng berada di tengah jalan raya dua arah, sebuah motor berkecepatan tinggi melintas. Dia tersentak kaget. Reflek, remaja itu mundur dua langkah ke belakang. Tanpa menyadari kemunculan sebuah mobil dari arah kanan. Begitu dekat. Lampunya terang, menyilaukan mata. Seperti mengantar tangan – tangan malaikat pencabut nyawa.
Satu jeritan merobek pagi, sesaat sebelum suara benturan keras terdengar. Warna merah tercecer di sepanjang aspal. Klakson kendaraan bersahutan. Beberapa orang yang berada di lokasi berseru – seru panik, "Ada tabrakan! Ada tabrakan!"
YOU ARE READING
Learn From Me
General FictionKetika memutuskan untuk meninggalkan rumah, Jiang Cheng sama sekali tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seseorang yang sanggup mengubah akhir dari jalan hidupnya.
Part 2 (Complete)
Start from the beginning
