Satu persatu aku membalik buku di depan, membaca kata demi kata yang nyaris membuatku lupa di mana dunia nyata yang sebenarnya. Sekilas aku melirik jam dinding samping jendela. Masih ada dua puluh menit sebelum bel masuk berbunyi, masih ada banyak waktu.

Baru saja aku akan kembali beralih pada buku di depanku, sosok yang tak asing memasuki penglihatan. Entah sejak kapan Bakugo ada di sana, aku sama sekali tak menyadarinya.

Dengan sinar yang seakan menjadikannya tokoh utama dunia. Satu tangan yang menumpu dagu sedang yang lain bermain dengan kertas. Mata tajam yang menatap jauh kedepan dengan tatapan kagum, seakan menemukan sosok yang lebih indah darinya.

Perlahan mataku mengikuti jalur penglihatannya. Perpustakaan yang sepi memudahkanku menemukan fokusnya yang berada didepan, tepat mengarah pada seorang gadis manis dengan rambut coklat pendek.

Sekali lagi aku memastikan arah pandangannya dan tetap saja mengarah pada gadis itu. Ada rasa sesak saat mataku kembali menatapnya. Dia mungkin sangat serasi bersama dengan Bakugo.

Matanya yang bulat menatap fokus pada buku didepannya. Rambut yang terlihat halus tergerai di samping. Senyum yang sering kali singgah di wajah manisnya. Aku bahkan tak berani membandingkan diriku dengannya.

Dari sudut mataku, sebuah senyum yang Bakugo tampilkan terlihat jelas dimataku. Aku tak pernah melihatnya tersenyum selembut itu di depanku. Benar-benar menyakitkan, aku benar-benar merasakan kalah bahkan sebelum perang dimulai.

Dengan paksa aku menarik pandanganku dari mereka dan kembali menatap buku didepanku dengan senyum getir. Sudah waktunya untuk berhenti.

Tak lama, aku kembali mengecek jam. Lima menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Dengan perlahan aku menutup buku didepanku sebelum mengembalikannya ketempat semula.

“Senpai...” samar-samar suara rendah yang kukenal terdengar, membawa mataku mengikuti naluriku dan menemukan Bakugo di tempatnya.

Kembali dadaku sesak. Tanpa menoleh sedikitpun aku segera beranjak dari perpustakaan. Entah raut apa yang mungkin ia tampilkan tapi, itu sudah tak berarti lagi.

_____

Todoroki Shouto

"The prince on the white horse, unfortunately he is not for me"

Sinar hangat yang menerobos melewati kaca. Angin yang berhembus perlahan. Koridor yang sepi, menggambarkan kesunyian dan kedamaian dengan tembok didepan sebagai penghalang dari dunia lain yang sangat berbeda, penuh kebisingan dan kebahagiaan abadi.

Perlahan aku mendekat dan menatap jauh ke dalam. Senyum segera terkembang saat mataku menangkap keberadaan sosok yang kukenal tengah tersenyum dengan anggunnya tepat ditengah kelas.

Rambut yang bergoyang mengikuti gerakan kecilnya. Senyum tipis yang menggambarkan kurva sempurna. Matanya yang menampakkan kilau keindahan. Ditambah dengan sinar mentari yang menjadikannya pusat perhatian bak pangeran dari negeri sebrang nan jauh di sana.

Tanpa sadar senyum terlukis di wajahku. Tidak selalu aku bisa melihat wajahnya yang tersenyum setulus itu tapi, sebenarnya apa yang membuat senyum itu bisa terkembang?

Perlahan mataku mengikuti arah matanya yang terlihat begitu berbinar. Layaknya pangeran yang menemukan puteri impian. Saat aku menemukan fokus tatapannya, semua tebakanku terbukti benar. Tatapan mata seseorang tak pernah berbohong.

Entah mengapa saat melihat YaoMomo menjadi hal yang membuat Todoroki-san tersenyum aku merasa kosong. Seperti sesuatu yang telah direbut paksa dariku.

Tapi, lihat sisi baiknya. Todoroki-san tersenyum. Lagipula jika dipikir-pikir mereka cocok. Todoroki-san seorang pangeran dan YaoMomo menjadi puteri idaman, dia pintar, kaya dan juga baik. Tidak ada yang akan mendebatkan hubungan itu jika benar.

𝕊𝕨𝕖𝕖𝕥 𝕄𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕤 || 𝘽𝙉𝙃𝘼 «ʙᴏʏғʀɪᴇɴᴅ sᴄᴇɴᴀʀɪᴏ»Where stories live. Discover now