"Ssst, jangan nangis dong," tutur Wirna. Ia bisa melihat wajah bayi digendongannya sudah memerah karena menangis. Wajahnya dipenuhi air mata yang sesekali sesegukan akibat terlalu lama menangis.

Bukannya berhenti bayi laki-laki itu masih menangis kencang. Tenaganya semakin bertambah membuat Wirna kewalahan. Kemejanya sudah lusuh dan basah oleh air mata Nino. Kancing bajunya sudah terlepas hingga menampilkan branya. Nino semakin brutal memukul-mukul dadanya seolah meminta sesuatu itu dikeluarkan dari sana.

"Yasudah, sini kita baring," mengalah lebih baik daripada membuat bayi tampan ini pingsan.

Akhirnya Wirna memilih berbaring diatas kasur. Memperbaiki posisinya menjadi miring meski agak susah karena Nino sejak tadi tidak mau lepas darinya. Dengan segera mengeluarkan sebelah payudaranya dan menyodorkan putingnya didepan mulut Nino yang ajaibnya sudah berhenti menangis namun masih sesegukan.

Wirna merasa aneh ketika putingnya diemut kencang oleh bibir mungil Nino. Ini hal baru baginya, apalagi Wirna tak memiliki anak. Jangankan anak, menikah saja belum apalagi mau menyusui. Hancur sudah harapannya yang bermimpi jika suatu saat anaknya akan menyusu padanya seperti yang dilakukan Nino.

Tak sampai disitu tangan Nino bahkan sudah menyusup masuk di balik branya yang lain mencari puting Wirna. Tangan mungil itu mengelus dan sesekali memutar-mutar pelan puting Wirna, bermain-main dengan kedua gunung kembarnya. Wirna hanya pasrah menerima perlakuan tak senonoh anak sang bos meski harus memendam perasaan aneh.

Entah berapa lama Nino menyusu—yang bahkan tak ada ASI-nya. Namun mulut kecil itu tak pernah sekalipun melepas putingnya, padahal mata Nino sudah terpejam yang artinya ia sudah tidur. Wirna sudah pegal tiduran dengan posisi miring.

Wirna mencoba melepas putingnya ketika melihat gerakan mulut Nino berhenti. Ketika terlepas ia pun memosisikan tubuhnya telentang, membiarkan sejenak payudaranya terpampang karena takut membangunkan Nino.

Baru saja Wirna hendak memasukkan payudaranya kembali ke dalam branya, namun pintu ruangan yang ditempatinya tiba-tiba terbuka dan menampilkan wajah sang atasan yang tidak seperti biasanya. Penampilannya kusut serta wajah yang sama kusutnya. Entah apa yang terjadi pada atasannya itu. Wirna tidak tahu karena terlalu kaget melihat wajah bosnya ada di hadapannya dengan kondisi dirinya yang hampir telanjang.

Masih wajah kagetnya, Wirna tak menyadari jika Ibrah dengan langkah penuh berjalan kearahnya. Wirna baru tersadar ketika Ibrah sudah berdiri disampingnya dengan wajah pias.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Ibrah dengan suara tegas. Matanya menilisik penampilan karyawannya yang berbaring telentang dengan bagian atas terbuka. Seakan mengundang dirinya.

"E-em. Ti-tidak Pak. Ini tadi Nino menangis dan—," ucapan Wirna berhenti begitu Ibrah mencium bibirnya dan menindih tubuhnya.

Wirna berontak sekuat tenaga ketika diperlakukan seperti itu. Ia merasa dilecehkan. Wirna juga tidak peduli jika anak Ibrah terbangun karena ulahnya. Sungguh Wirna tak peduli. Harga dirinya lebih penting saat ini.

"Pak, tolong berhenti!" Sentak Wirna berusaha menjauhkan tangan Ibrah dari daerah dadanya. Ibrah justru tak mengindahkannya, ia malah meremas pelan payudara Wirna dan menghisap putingnya keras. Wirna merintih disertai desahan ketika merasa sensasi lain menerpa dadanya. Wirna tak mengerti rasa apa yang jelas sensasinya berbeda dengan ketika Nino yang menghisapnya.

Ibrah mengangkat wajahnya menghadap Wirna. Sekali lagi bibirnya mendarat di bibir Wirna yang bergetar karena menangis.

"Bapak kenapa seperti ini pada saya. Saya ada salah apa sama bapak?" Tanya Wirna dengan air mata yang mengalir deras. Wirna tak lagi memedulikan penampilannya yang sudah tak lagi punya harga diri di depan Ibrah.

Boss & His Children [END]Where stories live. Discover now