Hadiah

339 31 2
                                    

Sesuai dengan janji Nuca semalam, ia bergegas menuju rumah Lini. Tepat pukul setengah tujuh pagi, sembari mengendarai motor matic miliknya, ia membelah keramaian jalanan. Sesekali terdengar bunyi klakson dan teriakan pengguna jalan lainnya karena aksi ngebutnya. 

"Assalamaualaikum. Lini." Panggil Nuca setelah memarkirkan kendaraannya. 

Tak butuh waktu lama untuk Lini keluar dari rumah. Di tangan kanannya ada kotak bekal berwarna biru. Tidak hanya satu. Melainkan dua. 

"Waalaikumsalam," balas Lini, "ini ada bekal buatan Ibu aku. Buat aku satu dan kamu satu." Sambungnya seraya memberikan kotak bekal kepada Nuca. 

"Ibu kamu mana?" Tanya Nuca, "aku mau minta izin seraya berterima kasih sudah dimasakkan bekal."

"Ibu sedang tidak ada di rumah," jawab Lini, "selepas memasakkan bekal ini untuk kita, Ibu bergegas ke kantor Ayah untuk mengantarkan sarapan dan juga pakaian ganti. Ayah lembur semalaman di kantor. Biasalah orang kantoran yang lagi sibuk dengan proyek besar." 

Nuca mengangguk. Paham dengan situasi yang dijelaskan Lini. 

"Semoga selepas kita pulang dari sekolah, Ibu kamu sudah pulang ya. Sebab hati ini tidak enak untuk tidak berterima kasih dan meminta izin bawa kamu pergi bersama ke sekolah."

"Kelihatannya, kamu anaknya berbakti serta sopan banget ya, Ca," ucap Lini setelah memakai helm yang diberikan Nuca, "jarang lho ada lelaki seperti kamu. Dulu teman sekolah aku yang di Bandung sepertinya tidak ada seperti kamu."

"Jangan puji aku seperti itu. Nanti aku bisa terbang karna malu dengan pujianmu."

"Beneran lho. Malahan, Ayahku sempat marah kepada salah satu temanku karena tidak izin  untuk sekedar menonton. Lebih tepatnya sih, temanku tidak masuk ke rumah untuk izin."

"Kalau aku jadi Ayah kamu, aku juga marah." Timpal Nuca.

"Kenapa?"

"Sebab, Ayah kamu khawatir karena anak perempuan kesayangannya dibawa pergi tanpa izin," jawab Nuca, "rasa khawatir itu wajar ya. Takut anak perempuannya kenapa-kenapa."

Lini mengangguk, "buruan yuk. Takut telat."

Tanpa diperintahkan dua kali, Nuca langsung menghidupkan motornya. Sesekali di sepanjang perjalanan, mereka membahas soal sekolah. Tak lupa mereka membahas soal hobi mereka masing-masing. 

"Kamu suka buat lagu? Pasti kamu bisa nyanyi dong," kata Lini sembari memberikan helm yang ia kenakan.

Nuca mengangguk, "iya. Dan aku sudah menghasilkan lima lagu. Tapi belum pernah satupun aku upload ke media sosial atau antar ke label rekaman."

"Kenapa?"

"Aku masih tidak yakin dengan karyaku." 

"Selain cuek dan tertutup dengan perempuan, sepertinya kamu punya sifat jelek lainnya ya."

"Sifat jelek apa?" Tanya Nuca tak tahu.

"Pesimis terhadap sesuatu."

"Kok kamu bisa bilang seperti itu?" 

"Barusan kamu bilang tidak yakin dengan karyamu. Kalau kamu sudah berkata seperti itu, itu tandanya kamu pesimis, Nuca." Tutur Lini sembari duduk di kursinya.

"Kamu mau mendengarkan salah satu karyaku tidak?" Usul Nuca yang ikut duduk di kursinya. 

"Kalau kamu tidak pesimis lagi dan mau menerima pendapatku, aku siap."

Nuca tersenyum. Lantas ia mengambil ponsel pintarnya dan headset yang ada di dalam tasnya. Setelah itu, ia langsung mencari lagu yang ia karang dan memberikan headset yang sudah ia pasangkan sedari tadi untuk Lini mendengarkan lagunya.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang