Anjani mengangguk, "Benar, pak, aku pulang pergi. Jadwalku adalah jam 10 pagi. Sampai jam 3 sore. Seharusnya pagi ini aku mengatur obat beliau dan membereskan pakaiannya. Aku tidak menyangka ini akan terjadi."

"Jadi kamu baru datang, Anjani?" tanyaku, yang dibalas dengan anggukan cepat. "Dan kau bisa jelaskan mengapa orang – orang itu, para tetangga, berkerumun di belakang garis polisi? Di tempat lain tidak seperti ini."

"Pak Tukiman terkenal di tempat ini, pak. Ia senang menolong orang, terutama ibu – ibu dan para pelayan. Ia sering mendengarkan cerita dan masalah, lalu memberikan saran. Dan sarannya bagus – bagus, pak. Ibu – ibu sering curhat masalah tentang pasangan juga. Coba tanya mereka, pak, mereka juga pasti terguncang dengan kejadian ini."

Aku mulai paham. Korban adalah orang baik yang terkenal. Itulah mengapa banyak ibu – ibu berkerumun di belakang garis polisi. Tapi, mengesampingkan hati dan perasaan, orang baik pun bisa menjadi korban kriminal. Kriminal tidak memandang bulu. Dan melihat TKP sekarang ini, mengarah besar pada hit and run. Pekerjaan maling. Adanya uang berceceran, banyak barang berantakan, tidak ada rekaman CCTV, serta kondisi lingkungan yang kumuh adalah situasi yang cocok bagi seorang perampok. Melihat situasi, tim forensik akan butuh waktu lama untuk memeriksa TKP. Lagipula, jika benar kesimpulan hanya sebuah kasus hit and run, ini bukan kasus untuk divisi detektif. Ini untuk divisi kriminal.

Aku menguap bosan. Aku menatap Charles dan ia pun beropini sama. Ini bukan kasus untuk kaum detektif. Charles berkata, "Kembali ke kantor kita, sobat?"

"Nampaknya begitu, Charles. Apa lagi yang menjadi jobdesk kita siang ini?"

"Menyusun berita acara. Laporan tentang kasus terakhir kemarin, Kolam Merah. Bertemu dengan pak bos untuk membicarakan pengadaan mesin pembuat kopi."

"Huh, membosankan. Apa kita tidak ada pekerjaan lain?"

Charles mengangkat bahu. Pandanganku kemudian beralih pada orang – orang yang berkerumun di belakang garis polisi. Wajah – wajah itu terlihat cemas dan sedih. Anjani benar, Tukiman adalah orang yang dikasihi di lingkungan ini. Tunggu dulu, mungkin ada yang bisa kita lakukan. Aku menatap Charles dengan sebuah senyuman. Ia sudah merasa ada yang tidak enak.

"Apa, Kilesa? Jangan bilang kau punya ide yang akan membuat kasus semakin rumit dan runyam."

"Sayangnya, aku senang dengan pekerjaan ini, Charles. Ayo, kita wawancarai mereka."

***

Apartemen yang sempit membuat kami melakukan wawancara di kamar ujung di lantai yang sama, sebuah ruangan yang tidak terpakai karena baru saja ditinggalkan pemiliknya. Awalnya kami berencana untuk mewawancara satu persatu, namun karena tidak ada daun pintu serta peredam suara, kami mengundang semuanya untuk masuk ke ruangan. Ibaratnya antrian dokter, kami berada di tengah bersama seorang narasumber, dan yang lain mengantri di dekat dinding. Di dunia kepolisian, baru sekarang hal seperti ini terjadi.

Di antrian, ada bermacam – macam orang. Tadinya ada lebih dari sepuluh orang hendak memberikan kesaksian, bukti bahwa Pak Tukiman adalah orang yang populer. Begitu mengetahui mereka berasal dari kamar yang sama, aku meminta untuk perwakilan satu kamar satu. Sisanya silakan keluar. Aku tahu beberapa masih berada di balik dinding untuk mendengarkan. Kebijakan ini menghasilkan lima orang berada di ruangan bersama kami, termasuk Anjani, pelayan pak Tukiman.

Orang pertama yang hadir di depan kami adalah seorang ibu – ibu berusia lima puluhan. Tinggal di seberang kamar Pak Tukiman, ialah yang melaporkan kejadian pada polisi.

"Jadi, Bu Aminah, bagaimana keadaan Pak Tukiman saat ditemukan?"

"Sudah bersimpuh darah, pak. Saya lalu mengecek nadinya, sudah tidak ada. Saya pensiunan perawat, jadi saya tahu kalau orang sudah mati atau belum. Beliau sudah meninggal, makanya saya menelepon polisi, bukan ambulans. Begitu saya selesai menelepon, saya langsung tutup pintunya, supaya tidak ada keributan. Beliau orang yang dikenal, pak. Kalau orang – orang tahu ia sudah mati, pasti ada keributan."

Detektif KilesaWhere stories live. Discover now