Kasus Saksi Bisu

7 0 0
                                    

KASUS SAKSI BISU

Pk. 10.20.

"Kudengar kau masih punya Pez dispenser, Charles, di rumah?"

Charles mengangguk, "Masih, Kilesa. Permen unik. Ada di rumah. Aku punya tiga selongsong. Mau satu?"

"Tidak. Aku cuma penasaran. Sebenarnya permen itu medioker. Aku penasaran masih ada yang suka dengan permen sejenis itu."

Lenguhan Charles mengakhiri perjalanan panjang menaiki tangga apartemen tempat terjadinya sebuah pembunuhan. Kami mengeluh keras ketika mengetahui bahwa lift apartemen ini sudah rusak cukup lama dan belum diperbaiki. Apartemen apanya? Dibandingkan apartemen, tempat ini lebih layak disebut rumah susun atau rusun. Kumuh. Jemuran dan pakaian berantakan di mana – mana. Ketika aku menyadari tempat ini tidak mungkin memiliki cctv, aku tahu bahwa pekerjaan kami akan bertambah berat. Demi mengusir kekesalan dan kebosanan, aku membeli majalah TIMES di stand koran di samping pintu masuk.

"Tempat ini tidak cocok disebut apartemen, Kilesa. Lebih cocok disebut slum, atau pemukiman kumuh."

"Yes, aku tahu, Charles. Tapi jangan pernah mengatakan itu di muka penduduknya. Mereka akan tersinggung."

Charles mengerdikkan bahu. Pada akhirnya, kami tiba di TKP. Yang melaporkan kejadian adalah seorang ibu – ibu dari seberang TKP. Korbannya adalah seorang pak tua, berusia sekitar lima puluhan. Karena pintu terbuka, kami langsung dapat melihat mayatnya. Ia tertelungkup di ruang tengah, di atas karpet yang berlumuran darah. Kepala belakangnya memerah karena pukulan benda tumpul, dompet dan isinya berserakan di atas lantai. Nampaknya ini adalah sebuah hit and run.

Belum ada garis polisi membentang, sehingga kami tahu bahwa Mahmud beserta tim forensiknya belum datang. Ini tidak biasa, karena ia selalu lebih cepat. Mungkin mendengar nama Apartemen Intan Jawanangsa, ia jadi malas datang, karena TKP akan sulit diatur. Aku menyuruh Charles untuk memasang garis polisi. Sementara itu, mendengar bahwa polisi telah datang, orang – orang, terutama tetangga, mulai berkemurun di luar TKP. Kebanyakan adalah ibu – ibu rumah tangga.

Aku paham bahwa orang – orang seperti ini sulit untuk dilarang. Semakin dilarang, mereka akan berbisik – bisik semakin kencang. Oleh karena itu aku membiarkan mereka. Pada akhirnya Mahmud datang. Dugaanku salah. Ternyata mobilnya mogok. Ia bersama timnya pun segera melakukan tugas pemeriksaan. Beberapa saat kemudian, ia memberikan laporannya.

"Orang ini bernama Tukiman, dilihat dari identitas KTPnya. Usianya lima puluh tiga tahun. Tewas karena pukulan benda tumpul di belakang kepalanya. Menurut dugaan awalku, tiang besi, karena ada aroma besi tajam di sisa darahnya. Dan melihat TKP, nampaknya ini adalah kasus hit and run. Pencuri yang tertangkap basah, lalu terpaksa membunuh."

Aku mengangguk, "Aku setuju, Mahmud, semua bukti mengarah ke sana. Pintu kayu ini mudah dibobol seandainya pun dikunci dan digembok. Apakah orang ini hidup sendirian?"

Mahmud mengerdikkan bahu. Tiba – tiba dari arah kerumunan terdengar sesuatu. Seorang wanita belia mengangkat tangannya. Sepertinya ia mendengar percakapan kami.

"Aku adalah Anjani, pelayan rumah ini. Aku tinggal bersama beliau."

Aku mengangguk dan membiarkannya melintasi garis polisi. Wanita ini masih berusia sangat muda, sekitar awal dua puluhan. Dilihat dari ekspresi wajahnya, ia terguncang dengan apa yang terjadi.

"Seharusnya aku datang lebih cepat. Seharusnya aku datang lebih cepat. Seharusnya aku datang lebih cepat. Jika saja aku datang lebih cepat, Pak Kiman masih hidup."

"Tenangkan dirimu, nona. Semua sudah terjadi dan tidak bisa dicegah lagi. Mendengar dari ucapanmu, kau tidak tinggal bersama bapak Tukiman?" tanya Charles.

Detektif KilesaWhere stories live. Discover now