Sitti Nurbaya vs Samsul Bahri

5 0 0
                                    

Hari besar! 

Semua orang berkumpul dan duduk rapi di dalam gedung gereja yang atapnya tinggi. Aku berjalan kaku memasuki gereja. Entah karena gaunku yang megar dan sepatu hak tinggi atau kegelisahan hati yang membuat jantungku berdegup kencang, kakiku terasa berat untuk mendekati mimbar. Kupejamkan mata dan menarik napas panjang untuk memperoleh ketenangan. Setelah beberapa detik kubuka mataku dan merasa lebih siap untuk berjalan di tengah-tengah para tamu yang berdiri seketika melihat kedatanganku. Lagu pun dikumandangkan. Lagu pernikahan tentunya. Kupancarkan senyum manisku pada semua yang hadir. Seolah memperlihatkan tipuan kebahagiaan total seorang pengantin wanita dibalut dengan kecantikan bak bidadari dari kahyangan akibat tata rias dari make up bermerk Elvie's lady pilihan mama dan gaun megar rancangan... ah entah rancangan siapa yang pasti membuatku kembali pada acara malam natal masa kanak-kanakku dulu di mana aku dan serentetan sepupu perempuanku memakai pakaian megar yang melambai-lambai di udara ketika kami berlari-lari cekikikan. Dapat kulihat kedua orangtuaku berdiri berdampingan. Papa menunjukkan senyum kepuasan seorang pemenang olimpiade, sementara mama seperti di film-film, terisak dengan tangan kanannya menyeka air mata yang sebenarnya tidak menetes dan tangan kirinya sesekali memegangi konde yang terpasang di kepalanya –mungkin untuk membetulkan atau merapikan tata kondenya- lalu singgah di lehernya yang berkalungkan emas berlian –hhm, kali ini mungkin ingin sedikit pamer- dan kembali dilipatkan dengan tangan kanannya. Wanita paro baya yang berdiri di belakang mama membelalakkan matanya melihat kalung yang dipakai mama dan segera cemberut lalu salah tingkah dengan mengikuti mama, memegangi lehernya yang juga memakai kalung emas, hanya saja lebih tipis dan berliannya kecil. Mama meliriknya dengan senyum dan pandangan remeh kemudian kembali menatapku dengan senyum yang tiba-tiba berubah drastis. Ya ampun! Kualihkan pandanganku ke depan. Di hadapan pastor berusia hampir kepala lima, berwajah cerah dan berambut hitam rapi dengan belahan pinggir yang tersenyum sangat manis padaku. Sedang pria di depannya yang berdiri menyamping tiada lain adalah Rikiko Lukantara atau seperti yang selalu mama ingatkan, "panggilannya Rico, anaknya baik, keren, ganteng, sopan, mandiri, sukses ... blabla" dan yang terakhir kuingat adalah, "Rico, dia biasa dipanggil Rico". Aku jadi bertanya-tanya, kenapa mama sangat menekankan nama panggilannya? Apakah dia akan tiba-tiba mengamuk jika aku salah memanggilnya dan berubah menjadi beruang salju? Yang benar saja! Ia tampak sangat tenang. Kepalanya menunduk. Ia menoleh padaku dan mata kami bertemu. Namun hanya sekejap karena aku langsung beralih pada pastor dan ia pun mengikuti seperti wanita paro baya yang meniru mama. Tapi tanpa tatapan dan senyuman remeh ketika aku mendekatinya, karena aku memberikan senyuman dan tatapan untuk para tamu tadi, yaitu tipuan kebahagiaan total pengantin wanita. Matanya jadi tamak sayu ketika ia menyunggingkan senyum kecilnya lalu mengulurkan tangan kirinya. Ternyata benar kata mama, Rikiko Lukantara memang ganteng dan keren. Bahkan dengan rambut ber-jel yang disisir ke belakang tidak mengurangi cap dirinya sebagai laki-laki tampan dan cool dengan senyum kecil yang tetap membuatnya manis. Perlahan kuulurkan tangan kananku dan menggapai tangan kirinya sampai aku tepat berdiri di sisinya.

Pastor memulai acara pemberkatan nikah. Kutatap wajah pastor dan mulutnya yang sedang komat-kamit. Aku masih tak percaya kalau saat ini aku sedang berada di tempat ini untuk menikah. Apa lagi dengan orang yang sama sekali tak kukenal bahkan aku baru melihat wajahnya hari ini. tak pernah terbayang sebelumnya aku akan menikah karena dijodohkan. Sebenarnya kalau dibilang 'dijodohkan' juga kurang pas, karena setahuku walaupun dijodohkan tapi kedua orang yang dijodohkan itu akan dipertemukan dahulu sebelum dinikahkan. Setidaknya mereka bertatap muka sebentar dan mengobrol sebentar. Tidak seperti yang kualami. Setelah selesai kuliah, bukannya disuruh mencari pekerjaan, aku malah ditawari menikah kedua orang tuaku –terutama mama- terus saja merocostentang calon menantu yang telah mereka pilih untukku.

"Tania sayang, perempuan itu harus menikah cepat-cepat, ntar keburu tua, gak ada yang mau alias gak laku," kata mama diakhiri dengan gelak tawa menyebalkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 02, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WITH YOUWhere stories live. Discover now