Tak ada pilihan lain. Tak ada jalan keluar lain.
Jiang Cheng memutar tubuh, bersiap menghadapi serangan dalam bentuk apapun. Jika harus berkelahi untuk mempertahankan diri, dia tidak takut sedikit pun.
"Hei!"
Kepala Jiang Cheng sontak mendongak saat satu seruan terdengar. Dia mendapati seorang pemuda berdiri di atas tembok sambil memegang tali. Wajahnya buram tanpa cahaya. Hanya sorot mata teduh tersisa dalam temaram.
Melihat Jiang Cheng masih terpaku, pemuda itu pun kembali berseru, "Cepat naik!"
Tanpa pikir panjang, Jiang Cheng segera menyambar tali yang terulur. Dia begitu bersemangat sampai nyaris terpeleset. Kalau saja pemuda asing itu tidak lekas meraihnya, Jiang Cheng pasti sudah jatuh.
"Hati – hati, jangan panik! Aku memegangmu."
Jiang Cheng mengangguk. Sekali lagi dia mencoba memanjat dan berhasil. Setelah melompat ke sisi lain tembok, mereka pun bergegas meninggalkan lokasi.
Keduanya tak sadar bahwa mereka berlari dengan kondisi tangan yang masih saling menggenggam.
#*#*#
Pada akhirnya, sebuah rumah mungil menjadi tempat singgah Jiang Cheng Si Petualang di malam yang cukup mendebarkan. Setelah drama kejar – kejaran dengan tiga orang preman usai, remaja bermarga Jiang itu kini dapat sedikit bernapas lega.
"Maaf kalau agak berantakan. Ruangan ini jarang dipakai."
Dengan pencahayaan yang cukup, lekukan rupa Sang Dewa Penolong kini tampak jelas. Dia adalah seorang pemuda tinggi berwajah rupawan. Sepasang matanya beriris gelap, namun menyorotkan keteduhan. Pembawaannya juga tenang. Tutur kata lembut dan sopan membuat sosoknya tampak dewasa dan berwibawa. Persis seperti kriteria menantu idaman para ibu yang memiliki anak gadis.
"Tidak apa – apa."
Di telinga orang normal, sahutan singkat Jiang Cheng pasti terkesan judes. Tapi, sang pemilik lidah tak peduli. Manik matanya sibuk menyapu seluruh penjuru ruangan.
Saat ini Jiang Cheng berada di sebuah rumah yang terdiri dari dua ruangan kecil. Tak banyak perkakas di dalamnya. Hanya sebuah tirai panjang berwarna biru tampak begitu kesepian menjalankan tugas sebagai penutup jendela di ruangan pertama. Sementara ruangan kedua dihuni oleh siluet empat benda. Semuanya tertutup kain putih yang agak berdebu.
Jiang Cheng sama sekali tidak menyangka akan dibawa ke tempat ini. Dia kira pemuda yang—sepertinya—ramah itu hanya akan mengantar ke tempat aman lalu pergi begitu saja.
Bukannya Jiang Cheng tidak berterimakasih telah ditolong, dia cuma heran mengapa si pemuda—yang kini sibuk menyingkirkan kain penutup dan membersihkan debu—begitu mudah membawa orang asing masuk ke rumahnya.
Jika itu Jiang Cheng, dia pasti akan berpikir ribuan kali. Bukannya pelit, Jiang Cheng hanya waspada saja. Tak ada kepastian orang asing mana yang kelak akan membawa masalah untukmu, bukan?
"Duduklah, kau pasti lelah," pemuda itu kembali bersuara. Lengkap dengan senyum hangat melengkung di bibir tipisnya. "Kau bisa tenang sekarang. Orang – orang itu tidak akan mengejar sampai ke sini."
Netra hitam pewaris Jiang Coorporation meneliti sofa panjang di depannya. Setelah yakin tak ada debu di sana, barulah dia duduk. Punggungnya secara otomatis melekat dengan nyaman pada lapisan busa yang empuk. Suka tak suka, Jiang Cheng harus membenarkan pernyataan si pemuda asing beberapa saat lalu. Dia memang benar – benar lelah.
"Ini, minumlah. Kau pasti haus."
Lagi – lagi pemuda asing itu benar. Jika dia mengucap frase lanjutan 'kau pasti lapar dan mengantuk', Jiang Cheng berani bertaruh bahwa pemuda itu seorang peramal.
YOU ARE READING
Learn From Me
General FictionKetika memutuskan untuk meninggalkan rumah, Jiang Cheng sama sekali tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seseorang yang sanggup mengubah akhir dari jalan hidupnya.
Part 1
Start from the beginning
