Lelah berjalan memaksa Jiang Cheng untuk duduk sejenak di emperan sebuah toko. Dia haus dan lapar. Tapi saat melihat isi tasnya, remaja berambut hitam itu mendesah kecewa. Karena terburu – buru hendak kabur, Jiang Cheng lupa membawa ponsel. Alih – alih membawa kartu ATM dan uang cash, dia malah mengantongi dompet kosong. Untung saja dia masih punya beberapa sen untuk membayar ongkos bus tadi. Kalau tidak, mungkin dia sudah dipukuli oleh kondektur bus yang galak.

Kepala pemuda Jiang itu kini dipenuhi pertanyaan tentang nasibnya. Sempat terlintas niat untuk menyetop taksi dan pulang, namun harga dirinya terlalu tinggi untuk mengaku kalah.

Tidak. Dia tidak boleh menyerah. Dia sudah terlalu lama menahan kekesalan atas sikap ayah dan ibunya. Biarlah untuk sekali ini mereka tahu bagaimana rasanya kehilangan hal yang berharga. Itu pun jika mereka masih menganggapnya berharga.

"Hei, Anak Muda. Sedang apa kau di sini?"

Suara teguran membuat Jiang Cheng mengangkat kepala. Entah sejak kapan tiga orang laki – laki bertubuh tinggi besar telah berdiri di hadapannya. Pakaian mereka lusuh dengan aksesoris metal bergemerincing. Jalaran tato memenuhi sepanjang lengan yang mengunci botol alkohol dalam genggaman. Dengan satu lirikan, anak kecil pun tahu bahwa ketiga pria ini adalah preman.

Sungguh sial. Belum jelas bagaimana nasib Jiang Cheng malam ini, dia malah harus berhadapan dengan situasi berbahaya. Masih bagus jika preman – preman itu hanya menginginkan uang. Bagaimana kalau lebih? Bukannya Jiang Cheng kelewat percaya diri. Tapi jaman sudah semakin gila. Bahkan seorang pemuda pun berpotensi untuk diperkosa. Apalagi yang setipe Jiang Cheng : tampan, putih, bersih, dan terawat.

Tanpa menghiraukan seringaian ketiga laki - laki itu, Jiang Cheng segera bangkit dan berdiri. Dia tak ingin berurusan dengan preman – preman ini. Jadi, lebih baik dia pergi saja tanpa membuat masalah.

Sayangnya niat Jiang Cheng harus terkubur lantaran ketiga pria besar itu menghadang. Salah satu dari mereka mencekal bahunya.

"Mau kemana, Anak Muda? Kau belum menjawab pertanyaan kami, lho."

Pria besar kedua menimpali, "Cih, bocah ingusan dari keluarga kaya memang sombong. Sama sekali tidak sopan kepada orang yang lebih tua."

"Sepertinya dia butuh diajar sopan santun, ya," sahut pria besar lainnya yang disambut tawa keras.

Jiang Cheng bungkam. Dia menyentak lepas cekalan di bahunya dan beranjak. Tak disangka, ketiga pria itu tetap mengikuti. Lengkap dengan tawa mengejek yang terdengar sangat menyebalkan.

Jiang Cheng mendengus kesal, "Biasakah kalian berhenti menggangguku?" sengatnya.

"Hei, teman – teman, Tuan Muda ini bisa bicara rupanya."

"Kupikir dia bisu karena dari tadi diam saja."

Laki – laki pertama mendekati Jiang Cheng bagai peredator menyudutkan mangsa. Tapi malam ini mereka salah sasaran. Target mereka tidak mudah diintimidasi. Belum sempat berbuat lebih, Jiang Cheng telah menangkap tangan pria besar itu. Dan dengan sekuat tenaga dia menghadiahi satu tendangan kuat untuk sang preman, lalu kabur!

Ya, kabur. Tidak ada yang salah, kan?

Oh, ayolah. Jiang Cheng bukan super hero. Dia dalam kondisi lelah, lapar, dan tak punya tempat berteduh. Sekalipun menguasai dasar – dasar ilmu bela diri, mustahil dia bisa menang there on one melawan ketiga preman berbadan besar. Jadi, satu – satunya solusi paling logis adalah melarikan diri.

Tak ayal lagi, ketiga preman yang harga dirinya terluka pun langsung mengejar. Mereka melontarkan sumpah serapah penuh amarah.

Jiang Cheng terus berlari. Benaknya carut – marut dihantam kepanikan. Dia hilang arah perihal ke mana harus bersembunyi. Fokus remaja itu gagal menyadari bahwa ketiga preman sengaja menggiringnya masuk ke dalam lorong gelap yang berakhir di sebuah jalan buntu. Tembok besar setinggi lima meter menghadang. Jiang Cheng terjebak. Jantungnya berdegup cepat. Napasnya tersengal. Sementara derap langkah berat telah tiba di ujung lorong.

Learn From MeWhere stories live. Discover now