Satu

89 28 94
                                    

Gadis itu menikmati segelas capuccino dengan beberapa alunan musik, membuat kenangan tersendiri. Di mana kenangan itu seakan menolak pergi dari ingatannya.

Malam yang menyebalkan, batinnya. Bagaimana tidak menyebalkan? Di luar hujan cukup deras, dan pria yang ditunggu pun belum terlihat batang hidungnya. Beberapa pesan yang ia kirim tidak ada balasan.

“Maaf aku terlambat.” Si pemilik suara langsung duduk menatap kebosanan kekasihnya. Ia paham betul bahwa gadis yang duduk di hadapannya sangat membenci kata terlambat, lebih jelasnya tidak suka menunggu.

“Kau tahu di luar hujan deras, dan jalanan macet karena pohon yang tumbang. Maaf.” Lagi-lagi kata maaf yang terdengar.

“Aleta, Kau marah? Iya aku salah. Dan aku minta maaf.” Gadis yang bernamakan Aleta itu hanya membalas dengan tatapan kesalnya.

Ini sudah lebih dari kata terlambat. Bagaimana tidak? Aleta menunggu tepat jam tujuh dan pria itu datang jam delapan, satu jam telat dan itu bukan waktu yang sebentar.

“Kau tahu aku tidak suka menunggu. Menunggu itu bosan, lelah dan ... tidak berguna. Aku ingin pulang, makan malamnya batal.” Aleta beranjak dari tempat duduk yang sejak tadi menjadi pelampiasannya. Pria itu ikut beranjak dan menahan tangan mungil Aleta. Ia menatapnya lekat, dan berusaha menghapus keegoisan di diri Aleta.

“Lepaskan!”

“Ini masalah sepele. Aku jauh-jauh datang dan kau bersikap yang tidak seharusnya. Ayolah ini hari kita, hari jadi kita. Aku mohon sampingkan egomu, Aleta.” Ingin rasanya Aleta melepas kasar genggaman itu. Namun, semua mata pengunjung seolah menatap ke arah mereka berdua. Rasanya tidak mungkin jika Aleta membuat drama lagi.

Aleta mengalah. Ia kembali duduk dengan suasana hati yang benar-benar berantakan. Pria itu tersenyum puas, kekasihnya bisa dijinakkan juga.
Namun, Aleta tetap saja Aleta. Ia masih bersikeras dengan keinginannya. Bagi Aleta, satu kali kesalahan tetap saja namanya kesalahan dan tidak bisa dimaafkan begitu saja.

Prinsip Aleta hanya satu, kebenaran ada pada dirinya.

“Kau mau pesan apa?”

“Aku mau pulang.” Aleta masih bersikeras ingin membatalkan makan malamnya.

Pria itu berusaha menggenggam tangan Aleta. Namun, siapa sangka, respon Aleta langsung menjauhkan tangannya, ia membuang muka dan menitik sudutkan pandangannya ke luar.

“Beri aku kesempatan untuk merayakannya bersamamu.” Aleta mendengus kesal, kenapa pria itu lebih keras kepala.

“Kenzo ... please! jangan paksa aku. Aku mau pulang!” Pria yang bernama Kenzo itu hanya bisa pasrah. Jika sudah seperti ini, mau tidak mau Kenzo harus mengalah.

“Baiklah.” Keduanya mengarah ke luar. Keduanya memaksa pulang di bawah hujan yang lebat.

Selama di perjalanan tidak ada obrolan apa pun, Kenzo yang fokus menyetir dan Aleta sibuk dengan pemikirannya sendiri sambil menikmati dinginnya udara malam. Ya, dingin tapi tak basah, itu yang disukai Aleta.

Hati yang beku. Kata mereka Aleta kelewat dingin, dan Kenzo bak pengemis cinta. Kenzo mati-matian mempertahankan hubungannya, sementara Aleta yang tampak acuh tak acuh.

“Apa kesalahanku fatal? Apa tidak ada maaf untukku.” Jujur Aleta membenci kata-kata yang terus dilontarkannya.
Aleta tidak menjawab apa pun, seolah-olah tidak ada pertanyaan yang terlontar. Kenzo seakan habis kesabarannya, ia memberhentikan mobil secara tiba-tiba.

“Apa-apaan sih!” bentak Aleta yang tidak menerima.

“Kau yang apa-apaan! Al, aku butuh kepastian. Aku seperti mencintai tanpa balasan. Sebenarnya apa ada rasa cinta sedikit saja untukku? Aku juga manusia, aku punya batas kesabaran, Al.”

Aleta terdiam. Ia berusaha mencerna baik-baik ucapan kekasihnya. Apa sikap Aleta terlalu berlebihan?

“Jawab! Aku butuh jawaban, Al.”

“Jika terus bertanya aku mau turun.” Jawaban yang luar biasa. Aleta benar-benar berhati es. Kenapa Kenzo harus mencintai gadis seperti Aleta? Padahal di luar sana banyak sekali wanita yang jelas mencintai Kenzo tanpa harus mengemis seperti ini.

Kenzo punya segalanya. Ia terlahir dari keluarga yang kaya raya, memiliki wajah yang rupawan dan memiliki cinta yang besar. Tapi, tidak pernah terlihat jelas di mata Aleta.

Bagi Aleta, Kenzo hanya pria payah yang mati-matian mengejar cinta yang salah. Sama seperti kepayahan dirinya yang mencinta pria lain, yang sudah jelas tidak mungkin bersatu.

“Segampang itu kau menjawab. Dan bodohnya aku tidak bisa melakukan hal itu. Baiklah aku akan berhenti bertanya,” jawab Kenzo dengan melajukan kembali mobilnya.

Satu tahun bukan waktu yang sebentar. Satu tahun harusnya sudah saling mengenal dan saling mencintai. Tapi, satu tahun waktu yang singkat bagi Aleta. Satu tahun belum bisa mengubah hatinya. Ia masih belum membalas semua rasa yang diberikan Kenzo. Aleta hanya merasa kasihan saja atas perjuangan Kenzo yang mati-matian terus meminta cintanya.

“Sudah sampai. Tidurlah,” ucap Kenzo yang memamerkan senyuman terbaiknya. Aleta membalas dengan senyuman tipis bahkan nyaris tidak membentuk senyuman. Aleta beranjak dan berjalan lurus ke arah rumahnya.

Hujan sudah reda. Kenzo hanya bisa menatap dari kejauhan, Aleta sudah masuk ke dalam rumahnya tanpa ucapan perpisahan, tanpa melambaikan tangan bahkan tanpa menoleh layaknya sepasang kekasih pada umumnya.

Hubungan mereka berbeda, hubungan mereka tidak semanis drama yang selalu ditonton banyak orang. Hubungan mereka dingin, tapi ... Kenzo bahagia jika berada di samping Aleta. Memandangi caranya berinteraksi dengan Kenzo, bercerita tentang harapan masa depan dan banyak hal yang istimewa yang tersimpan di diri Aleta.

Kenzo tersenyum getir.

***

“Kau baru pulang? Kenzo mana?” Baru saja kembali, Aleta sudah disajikan pertanyaan. Aleta membalas dengan mengangkat kedua bahunya dan menggeleng lemah.

“Al ... .” Ucapannya terputus.

“Apalagi?” Aleta sudah paham ke mana arah pembicaraan yang akan dibawa Radit Kakaknya dan sahabat dari kekasihnya. Keduanya saling diam, Radit seperti terkunci rapat dan mengurungkan pembicaraan yang akan disampaikan pada Aleta.

Aleta langsung masuk ke kamarnya, ia melewati Radit begitu saja. Malam ini Aleta benar-benar dibuat emosi.
Aleta langsung mengunci kamar, ia butuh waktu sendiri untuk mengembalikan mood-nya. Ia sedikit termenung, entah kenapa rasanya begitu gampang perasaannya berubah-ubah.

Tatapannya terhenti diposter besar yang sudah tertempel sejak lama, poster negara Inggris pemberian dari seseorang yang kini menjadi pemilik sebagian besar dari hatinya.

Rindu juga, Aleta membatin. Entah sudah berapa lama dirinya tidak berkabar, entah sudah berapa lama tidak bertemu menukar cerita yang menarik.

Sekarang pria tersebut sudah mendapatkan mimpinya. Melanjutkan pendidikan di negara impian, Inggris. Begitu pun dengan Aleta yang ingin melanjutkan pendidikannya di sana. Pendidikan yang diimpikan oleh mereka berdua.

Senyum hambar ter-garis begitu saja, tangannya memegang erat foto potret mereka berdua saat pulang dari taman bermain.

Aku akan menjemput cinta itu, Aleta kembali membatin.

****

Mohon maaf kalau rada anu. Jangan lupa kritik dan sarannya😍

AletaWhere stories live. Discover now