"Mengerikan"

Mark tersenyum kecil mendengar tanggapan itu.

"Hyuck" panggilnya.

Hanya gumaman malas yang didapatkan sebagai jawaban.

"Apa beberapa bulan tinggal bersama, tak ada rasa sedikitpun untukku?"

"Apa maksud Hyung?"

"Aku tahu kau hanya berpura-pura selama ini. Kau berpura-pura menjadi pasangan yang sangat baik untukku. Dan aku menyukainya. Aku terlalu bodoh hingga sudah tak perduli lagi jika apa yang kau lakukan selama ini hanya kebohongan saja. Tapi, apa hanya aku saja yang merasakannya?"

Haechan berbalik. Berniat pergi.

"Hyung sudah tahu kalau aku menikah dengan Hyung karena harta, kekuasaan dan karena Hyung itu terkenal kan? Tapi akhirnya aku sadar jika apa yang kulakukan selama ini sia-sia saja. Dan akhirnya sekarang, Hyung sudah tidak berguna lagi bagiku"

Mereka tidak saling berhadapan saat berbicara.

"Aku hanya akan kesulitan dan menanggung malu jika harus merawat Hyung yang cacat. Hyung hanya akan menjadi beban sekarang" lanjutnya.

Mark kembali memberikan senyuman kecilnya.

"Kau benar. Aku tidak berguna" balasnya pelan.

Haechan maju selangkah dari tempatnya berdiri.

"Kalau begitu, selamat tinggal. Terima kasih untuk beberapa bulan ini" ujarnya seraya pergi dari ruangan serba putih dengan menyisakan satu orang disana.

"Sampai jumpa, Hyuck" ujarnya lirih setelah orang yang sudah menjadi pemilik hatinya itu pergi.

Menatap nanar ke arah pintu dimana tempat Haechan keluar.

"Kita pasti akan bertemu lagi. Aku tidak ingin benar-benar berpisah"

Menatap kaki panjangnya dengan tatapan menyedihkannya.

Cklek~

"Kau baik-baik saja, Mark?"

Dan muncul orang lainnya dari pintu yang sama.

"Apa cacat itu sebuah dosa?"

Orang itu mendekat. Menghampiri Mark yang masih menunduk melihat kakinya.

"Kau pasti akan sembuh, Sayang. Bubu yakin kalau anak Bubu akan kembali seperti sedia kala"

Memeluk tubuh yang mulai bergetar. Membawa ke dalam dekapan hangatnya.

"Tapi Haechan tidak akan kembali, percuma saja aku sembuh"

"Yang penting fokus untuk sembuh dulu ya? Kau tidak cacat permanen, Sayang. Anaknya Bubu bisa sembuh"

"Haechan-"

"Sudah ya? Sekarang pulihkan dulu kesehatanmu, lalu mulai terapi untuk menyembuhkan kakimu"

Akhirnya Mark hanya mengangguk setuju. Masih dengan memeluk tubuh dengan wangi harum orang yang mendekapnya.

"Bubu tidak akan meninggalkanku kan?"

"Mana mungkin"

~.a.b.c.~

"Kita tinggal disini, Mom"

"Kenapa kita tidak kembali pulang ke rumah Dadmu saja?"

Haechan menggelengkan kepalanya.

"Rumah itu sudah dijual oleh Dad, Mom"

"Huh? Benarkah? Kenapa Mom tidak tahu?"

"Dad memang dari dulu kan tidak bertanggung jawab. Membiarkan istri dan anaknya tidak memiliki tempat tinggal seperti gelandangan, sementara dirinya sendiri sedang bersenang-senang di luar negeri"

Sang Ibu hanya menghela nafas panjang saja.

"Ini sudah menjadi pilihan kita, Sayang. Sejak kita memaksa agar kau bisa menikah dengan Mark dulu. Kau tahu kan kalau Dad tidak setuju? Yah, Dadmu itu tahu rencana kita sejak awal. Lebih tepatnya tahu sifat kita sejak awal"

Haechan mengangguk. Benar apa yang diucapkan Ibunya.

Mereka berdua yang durhaka. Haechan yang durhaka pada Ayahnya Dan Ibunya yang durhaka pada suaminya.

Inilah yang mereka dapatkan.

Beruntung ayahnya hanya memilih untuk diam saja tanpa bertindak apapun. Masih sayang pada anak dan istrinya lebih tepatnya.

"Mom, aku- hoek"

"Baby? Kenapa?"

Haechan langsung berlari ke kamar mandi saat putaran di perutnya membuatnya ingin segera mengeluarkan isi di dalamnya.

Sementara sang Ibu yang khawatir itu segera berlari menyusul anaknya.

"Kenapa?" ulangnya dengan nada panik yang sama.

"Hoek~ hoek~"

Dan tidak ada jawaban. Karena yang ditanyai sibuk dengan muntahannya.

Sang Ibupun membantu anaknya dengan memijat lembut punggung yang sedang menunduk itu.

"Mom buatkan teh hangat ya?"

"Hoek~ hoek~"

Tidak dijawab sama sekali. Yang mana semakin membuat sang Ibu lebih khawatir.

Ibu Haechanpun beranjak ke dapur. Membuatkan teh hangat untuk sang anak.

Dan bodohnya, melupakan fakta jika mereka tinggal di rumah baru.

"Ah, belum belanja" gumamnya.

Hingga hanya segelas air hangat saja yang terpikirkan dalam benaknya.

Mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat yang ada dalam dispenser.

"Tidak mungkin kan?" gumamnya pelan saat terbesit sebuah pemikiran.

"Tapi bisa jadi juga" lanjutnya seolah menjawab pertanyaannya sendiri.

Akhirnya, Sang Ibupun meletakkan segelas air hangatnya di atas meja ruang tengah.

"Mom ke apotek sebentar ya? Membeli obat untukmu" ujarnya.

"Kuharap tidak benar"

Dan pergi tanpa menunggu jawaban.

~.a.b.c.~

Hanya sebuah ide😉

Divorce (Markhyuck)Where stories live. Discover now