𝐒𝐀𝐓𝐔.

561 63 3
                                    

𝐑oma sedang berwarna jingga kemerahan. sinar mentari yang perlahan redup masih menyiram daratan, daun-daun yang mengering beterbangan di atas tanah —terhembus angin sakal yang datang. roma tidak pernah secantik ini di musim gugur. dan musim gugur tidak pernah seanggun ini di roma.

begitu mengingatkanku pada sosok yang sehangat mentari pagi dan sore.

suara demi suara tertimpal satu sama lain, bergema di udara, tidak mampu lagi diproses otak. bahasa negara sana, bahasa negara sini, semuanya tercampur menjadi satu kesatuan di kota ini. komunikasi adalah hal yang penting, bagaimana bisa makhluk hidup bisa bertahan tanpa bersuara?

ujung kaki yang tertutup ankle boots hitam menyapu pelan guguran daun jingga di tanah, manik biru mudaku bergulir ke sekeliling, mencoba menyingkirkan jenuh di kepala. pandanganku terhenti tepat pada sebuah bangunan bertingkat dua —beraksen hitam dan merah tua, dengan beberapa kursi kayu yang manis dan meja bulat di depan pintu kaca yang besar di tempat itu. tujuan akhirku.

aku mendongak sedikit, menatap papan kayu besar dengan gaya klasik, berukirkan tulisan sole é luna café. dari balik kaca yang sebagian besar mengisi dinding luar, aku melihat manusia-manusia yang sedang menyantap sesuatu sembari berbincang kecil, tertawa, bahkan ada yang menyendiri dengan wajah nestapa.

aku mendengus melihat pemandangan patetik itu. rasa ketertarikan menarik diriku untuk melangkahkan kaki menuju kafe yang amat faniliar itu. tanganku mendorong perlahan pintu kaca dengan frame besi hitam itu, yang mana membiarkan aroma biji kopi dan roti merasuk rongga paru-paruku.

menyapu seluruh penjuru ruangan dengan kedua lensaku, aku mendapati meja kosong yang selalu aku tempati jika berkunjung kemari. tanpa berpikir panjang, aku berjalan cepat kearah meja tersebut dan menduduki kursi kayu dengan bantal kecil berwarna abu-abu di punggungnya. tempat ternyaman di roma, selain apartemenku.

dimana matahariku, ya?

aku terkekeh pelan dengan pikiran konyol yang melintas sesaat di benak, berusaha menghapus semua imajinasi sembari memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. hatiku tidak berkeinginan untuk memesan satu menu pun disini, namun menginginkan hanafuda itu memasuki penglihatan.

seolah semesta mendukung, tidak lama kemudian pintu kaca yang aku lalui 10 menit lalu pun terbuka —menampilkan pria tinggi dengan surai hitam kemerahan, dengan kemeja putih serta coat coklat muda. wajahku memanas ketika melihat tulang selangkanya yang sedikit terekspos, serta tubuh tinggi besarnya yang terlihat kekar meski tertutupi lapisan pakaian.

detik berikutnya, manik maroon nya bertabrakan dengan kolam biruku. senyum kecil kusunggingkan kepadanya, membuat pria itu terdiam di posisinya dengan wajah datar seperti biasa. ia mulai menggerakkan kaki jenjangnya menuju mejaku, dan berhenti tepat ketika berada di hadapan kursi yang kududuki.

seorang pelayan lelaki menghampirinya dengan wajah sumringah, membuka bibirnya hendak mengatakan sesuatu. namun, pria beranting hanafuda itu mengangkat tangan kanannya ke udara, mengisyaratkan pelayan itu untuk tutup mulut —tanpa mematahkan kontak mata kami. tanpa berucap apapun, pelayan itu menunduk kecil sebelum pamit untuk melayani meja lain.

"tuan bos sedang menunjukkan caranya berkuasa, huh?" aku memangku pipiku dengan telapak tangan yang terpangku diatas meja.

pria itu menghela nafas kecil, menarik kursi di hadapanku agar ia bisa menghempaskan dirinya. wajahnya begitu datar, tidak ada emosi yang tergambar di kulit pucatnya. "terserahmu."

aku mengulum bibirku dan bersenandung pelan, dihadapanku adalah pria berkebangsaan jepang yang tinggal di kota roma —pemilik kafe tempatku bersemayam saat ini. aku berusaha mencari topik pembicaraan agar ia tidak merasa bosan duduk berlama-lama denganku disini.

𝐥é𝐠𝐚𝐦𝐞, T. YORIICHIWhere stories live. Discover now