i.

3.1K 399 33
                                    


MEREKA bersahabat sejak... Renjun bisa memasang dasi dengan simpulan yang pas dan simetri.

Jaemin berdiri di sana, nyaris terlambat kalau saja menjejakkan langkah sedetik lebih lambat. Rambutnya awut-awutan, jelas terkena angin di penghujung musim dingin yang sebentar lagi pamit. Seragamnya, meski terkancing semua dan lengkap, tapi tidak benar-benar enak dipandang. Kerah kemejanya seperti melancong sendiri, dan dasinya ada di luar jalur.

Ia duduk di kursi satu-satunya yang tersisa, paling depan, deret tengah. Sebelah kirinya tinggal jalur untuk berjalan dan di kanan ia bisa melihat seorang anak yang melihatnya dengan tatapan prihatin. Itu kali pertama ia berkontak mata dengan Renjun, lalu langsung mengira kalau-kalau ada yang salah. Apa kursi yang ia tempati sudah ada orangnya? Jaemin menyiapkan dirinya jika saja diminta untuk minggat, kembali menjadi bahan sorotan seantero aula, padahal upacara pembukaan tahun ajaran baru sudah siap dimulai.

"Maaf ya, kamu mau aku pindah?" tanyanya terang-terangan.

Renjun mengernyit bingung, belum paham apa maksudnya.

"Kursi ini ada yang tempati?"

"Oh—" bibir Renjun membulat. "Bukan itu," sergahnya buru-buru, meluruskan kesalahpahaman.

Raut Jaemin langsung berubah lega, duduknya dibetulkan. Tadi ia baru sempat mendarat setengah di sana.

Tangan Renjun terulur, meraih kerah Jaemin yang langsung direspon dengan manuver tubuh si anak yang lebih tinggi dalam rangka instingnya menghindar. Tersentak dari tempatnya.

"Kamu ngapain?" tanyanya was-was, tidak mungkin 'kan anak di sebelahnya ini kawanan geng perundung yang ingin menyikatnya di hari pertama masuk sekolah?

Renjun diam saja, Jaemin juga tidak lagi bergerak. Bukan karena percaya dengan tingkah Renjun, tapi kepalang tanggung sebab kepala sekolahnya sudah berdiri di podium, siap membacakan sambutan.

Gerakan tangan Renjun gesit, begitu selesai, tahu-tahu dia nyengir lebar sekali. Menampakkan gigi gingsulnya yang menyungging manis. "Nah, sudah selesai!"

Jaemin menatap ke kerahnya. Bentuknya sudah lebih tertata, dasinya juga terikat dengan pola yang tepat, estetik pula. Dia tercenung. Baru sadar sesuatu.

"Aku gak bisa bikin dasi." Ia melontarkan tiba-tiba, lalu menyesal. Alih-alih berterima kasih, bisa-bisanya ia malah curhat begitu. Tapi Renjun menatapnya dengan senyum yang mencapai ke matanya.

Mikrofon berbunyi, kepala sekolah mengucap salam yang dibalas berbarengan oleh semua siswa secara kompak. Pidato di tangannya dibacakan, penuh dengan optimisme menyambut mereka yang digadang-gadang sebagai penerus bangsa.

Jaemin hampir lupa dengan Renjun kalau saja anak itu tidak meraih bahunya, membisikkan cepat, "Nanti aku ajari, tenang saja."

Janji itu dipegang oleh Jaemin, mereka bahkan sempat-sempatnya melilitkan kelingking di bawah kursi. Sambil kali ini Jaemin menatap Renjun dengan sorot lebih tenang, menggumamkan, "Terima kasih ya," tanpa suara yang dibalas Renjun dengan anggukan mantap.

Persahabatan mereka dimulai dari sana.

Persahabatan mereka konstan, tidak seperti mood Jaemin yang kadang semangat di pagi hari tapi melempem karena malam tiba. Tak seperti pergantian arah angin, atau bahkan perubahan musim.

Tahun berganti dan Renjun akan tetap jadi yang paling dicari kala Jaemin sudah lelah dengan setumpukan soal matematika. Renjun akan memasakkan makanan ringan untuknya dan membiarkan Jaemin sekali-kali menggelayut manja di tangannya sebagai metode mengisi energi sebelum melanjutkan belajar. Renjun juga tersangkut di daftar teratas nomor yang paling lama Jaemin hubungi, guna menidurkannya dengan senandung lagu-lagu kartun lama bernada rendah. Lalu telepon itu akan Jaemin tinggal ke alam mimpi dengan sambungan yang masih menyala.

Flavour - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now