"Papa," teriak Niana. Baru saja Wirna ingin membalas pesan Fita, tiba-tiba teriakan girang dari gadis sampingnya berhasil membuat Wirna teralihkan. Wirna mengalihkan tatapannya ke arah luar jendela, tepat jari telunjuk gadis itu menunjuk.

"Pak Ibrah," gumam Wirna ketika melihat sosok laki-laki yang merupakan bos-nya keluar dari gedung kantor sambil menggendong seorang bayi. Wirna semakin takut dan gelisah ketika melihat pria itu berjalan menyeberang jalan seakan menuju ke tempat mereka saat ini.

Praduga Wirna semakin kuat ketika melihat pria itu sesekali melihat ke arahnya seakan memastikan sesuatu. Langkah itu semakin dekat mencapai pintu masuk membuat Wirna tidak bisa berpikir jernih. Isi kepalanya hanya memikirkan pesan dari Fita beberapa saat lalu. Pesan dan pria itu seolah berkesinambungan.

"Papa!" Panggilan dari Niana seketika menyentak Wirna dari lamunannya. Tatapannya kemudian mengarah pada sosok pria tinggi yang ternyata sudah masuk kafe dan sedang berjalan ke arahnya. Bahkan Wirna tak menyadari jika ternyata gadis kecil yang duduk di sampingnya sudah berlari menghampiri sang Papa dan adiknya yang berada di gendongan Ibrah.

"Pak Ibrah, selamat siang. Maaf terlambat mengembalikan Niana," sapa Wirna meringis ketika melihat tatapan dingin Ibrah padanya. Wirna berdiri dan sedikit membungkukkan badan, sebagai tanda hormat.

Ibrah hanya mengibaskan tangan acuh. Ibrah memilih duduk daripada menanggapi. Pandangan Ibrah mengarah pada piring dan cup es krim yang sudah habis di atas meja. Hal itu langsung membuat Wirna menggaruk tengkuk, gelisah dan takut Ibrah memarahinya karena telah mengajak Niana makan makanan yang manis.

"Maaf, Pak," entah kenapa Wirna harus meminta maaf, padahal kalau dipikir, ia tidak memiliki salah apapun. Tetapi tetap saja kata itu meluncur keluar dari bibirnya.

"Es krim disini enak, lho, Pa. Cake-nya juga enak," celetuk Niana berhasil mengalihkan tatapan Ibrah pada Wirna. Niana sudah kembali ke tempat duduknya dan masih menyendok sisa-sisa kue di piringnya.

"Oh, ya?" Tanggapan Ibrah seolah meremehkan Wirna. Lihat saja bagaimana pria itu memandangnya, seolah sangsi terhadap perkataan Niana. Padahal bukan Wirna yang menyerukan kalimat itu tapi pria itu malah menatapnya. Wirna hanya mengangguk sekilas.

Ibrah tak lagi menanggapi. Ia sibuk membenahi bayi yang ada di gendongannya.

"Sudah makan?" Tanya Ibrah di sela kesibukannya. Wirna menjadi bingung pada siapa Ibrah bertanya. Pasalnya pria itu tak sekalipun mengangkat kepalanya pada lawan bicaranya.

Takut salah paham, Wirna memilih bertanya. "Siapa, Pak?"

Ibrah mengangkat kepalanya. "Kamu. Siapa lagi," balas Ibrah mendengus. Wirna meringis salah tingkah.

"Sudah, Pak. Ini," tunjuk Wirna pada bekas piring dan cup es krim-nya.

"Ayo, ke restoran samping, makan. Saya yakin kamu belum kenyang hanya memakan itu," ujar Ibrah yang seratus persen Wirna benarkan. Wirna bukan anak kecil yang akan kenyang jika disuguhkan makanan jenis cemilan seperti ini. Definisi kenyang menurut Wirna ialah apabila perutnya sudah terisi nasi dan lauk hari itu, maka Wirna sudah kenyang.

Ibrah kemudian berdiri menggandeng tangan Niana dan berlalu meninggalkan Wirna yang masih ragu. Wirna ragu antara ikut atau tidak. Namun perasaan ragu itu sirna begitu Ibrah berhenti di depan pintu menunggu dirinya.

***

"Saya pesan ayam kecap manis satu, kepiting pedas manis satu dan minumnya es teh dan es jeruk, masing-masing satu," pesan Ibrah pada pelayan ketika selesai memilih menu untuk dirinya maupun untuk Niana. Ibrah kemudian mengalihkan tatapannya pada Wirna yang masih sibuk membolak-balik buku menu.

"Pesan apa?" Tanya Ibrah menyentak Wirna dari lamunannya. Wirna melamun selagi membolak-balik buku menu. Matanya sibuk memilih menu yang paling murah. Pikirannya bukan lagi pada lidah dan kepuasan perutnya tetapi pada isi dompetnya. Wirna belum gajian dan hari ini tanggal tua. Butuh beberapa hari lagi untuk dirinya menerima gaji.

"Saya pesan ini saja, mbak," tunjuknya pada salah satu menu yang menurutnya paling murah diantara menu lainnya. Ibrah memajukan kepala agar melihat jelas apa yang di pesan Wirna. Sepiring nasi putih dengan lauk tempe dan tahu.

"Pilih saja yang mau kamu makan. Saya yang bayar," ucap Ibrah seolah membaca pikiran Wirna. Wirna meringis canggung karena merasa Ibrah mengerti ke-khawatirannya.

"Samakan saja, mbak," Wirna merasa sungkan harus memilih menu yang lain jika Ibrah saja memilih menu yang sederhana. Ia takut salah pilih menu dan ternyata menu pilihannya mahal.

Pelayan itu pun berlalu setelah menyebutkan kembali pesanan mereka. Meninggalkan Wirna yang duduk dengan canggung di hadapan bos-nya. Wirna khawatir orang-orang salah paham terhadap dirinya dan Ibrah. Entah kenapa Wirna merasa mereka seperti pasangan suami istri. Siapa saja yang melihat pasti mengira demikian. Sepasang laki-laki dan perempuan dewasa dan sepasang anak kecil diantara mereka duduk santai di dalam restoran semakin menguatkan perkiraan itu.

"Divisi mana?" Tanya Ibrah di tengah keheningan.

"Bagian marketing, Pak," balas Wirna pelan.

"Kok, kamu yang selalu antar berkas ke saya? Kepala divisi kamu kemana?" Sudah lama Ibrah ingin menanyakan hal ini. Tapi selalu tidak ada kesempatan.

"Ada kesibukan lain, Pak. Jadi saya yang antar. Beliau juga yang menyuruh saya mengantar berkas ke bapak kalau beliau sedang sibuk," jelas Wirna. Ibu Mira selaku kepala divisi di departemen marketing seolah mempercayakan seluruh jabatannya pada Wirna. Tak tanggung menyuruh Wirna melakukan ini-itu yang seharusnya menjadi tugas Ibu Mira padanya. Tentu Wirna menganggap hal ini bagus dan bisa memengaruhi posisinya di masa yang akan mendatang.

Ibrah mengangguk mengerti. Rasa penasarannya selama ini sudah terjawab. Tak lama kemudian makanan mereka datang dan akhirnya memilih makan.

***

Kalo vote dan komennya rame, ku bakal usahain double up🤪


Boss & His Children [END]Where stories live. Discover now